Loading...

 

 

Oleh: Nada Sukri Pane

MEDIALOKAL.CO - Kondisi Papua dan Papua Barat semakin memanas pasca peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Peristiwa ini diperburuk dengan kalimat rasis seorang guru PGRI bukan etnis Papua terhadap siswa SMA Wamena etnis asli Papua pada Tanggal 21 September 2019. Kabar yang berkembang viral di masyarakat tersebut memicu kemarahan warga etnis Papua.

Loading...

 Pada hari Senin, Tanggal 23-9-2019 kerusuhan dan pembantaian warga kembali terjadi. Ribuan warga Papua dengan kapak dan parang panjang turun ke jalan meluapkan kemarahan merusak berbagai pasilitas. Bahkan mereka mulai membunuh warga yang bukan etnis Papua. Rumah dan ruko beserta penghuninya dibakar. Seorang dokter mati mengenaskan. Tak ada lagi perikemanusiaan.

 Kondisi itu membuat aktivitas di Kota Wamena lumpuh total. (Cessa­tion of socio-economic activities). Berda­sarkan data Tim Investigasi, hingga Sabtu, 28 September 2019, total korban meninggal dunia tercatat menjadi 39 orang dan 75 orang menga­lami luka-luka. Kemudian 80 kenda­raan roda empat, 30 kendaraan roda dua, 150 ru­mah dan pertokoan, serta 5 perkanto­ran hangus terbakar. Saat ini sekitar 5.000 etnis non Papua memilih me­ngungsi di 4 titik pengung­sian yang ada.

Campur Tangan Asing

Papua membara diprediksi provo­kasi dilakukan dari dalam dan luar negeri. Salah seorang pelaku provokasi bernama Veronica Koman (VK). Dia menyebar kalimat bermuatan provo­katif. Status-status aroma kebencian ditulis VK saat berada di Jakarta dan luar negeri. Papua diupayakan mem­bara agar menimbulkan pelanggaran HAM berat. Target mereka agar menjadi perhatian PBB.

Isu referendum sengaja digelorakan kembali oleh pihak asing. Mereka didu­ga menjadi inisiator Kelompok Sparatis Oraganisai Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Na­sio­nal Papua Barat (TPNPB). Mereka menghasut warga Papua agar meng­gugat kembali sejarah Pepera (Penen­tuan Pendapat Rakyat). Mereka meng­klaim proses Papera integrasi Irian Barat ke pangkuan NKRI pada Tahun 1969 penuh rekayasa licik Pemerintah Indonesia. (Just Indone­sian enginee­ring).

Mereka tak henti menabur agitasi kebencian terhadap pemerintah Indo­nesia. Mereka mengkambing­hitamkan kemiskinan dan lambatnya pembangu­nan. Elit kelompok sparatis berupaya mengdakan loby-loby di dunia Internasional. Intinya mereka meragu­kan fakta Rapera Tahun 1969. Mereka mencari dana oprasional dari berbagai lembaga sosial luar negeri. Mereka minta diadakan referendum ulang.

Ada dua kelompok yang sangat mudah terbakar. Yang pertama oknum elite politik. Bahkan dicurigai elit politik menggunakan pisau bermata ganda. Mereka seolah loyal terhadap pemerintah tetapi juga memotivasi rakyat untuk merdeka. Yang kedua rakyat yang tak tau apa-apa. Kelompok ini adalah korban agitasi provokator. Akibatnya mereka jadi lapar membu­nuh warga non Papua. Padahal rakyat kecil ini, kelak tak dapat apa-apa?! (Only victims of suffering).

Upaya referendum menuju Papua Merdeka semakin bergelora. Berbagai bentuk upaya perlawanan dilakukan TPNPB dibawah pimpinan Egianus Kogoya. Selain memiliki senjata hasil rampasan milik TNI, diduga TPNPB membeli senjata dari sindikat senjata Internasional. Beberapa kali mereka menghadang dan menembaki tentara. Pemerintah Pusat mengirimkan tambahan jumlah Angkatan Bersenjata untuk meminimalisir korban nyawa di Papua. (Prevents more casualties).

Sejarah

Sejarah berdirinya Papua dimulai dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949. Indonesia menginginkan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda. Namun Be­landa ingin mempertahankan Papua. Dalam Sidang Umum PBB pada September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Marie Antoine Hubert Luns mengajukan usulan agar Papua berada di bawah perwalian PBB.

Namun Indonesia keberatan dan mengadakan perlawanan. Presiden Sukarno membentuk Komando Man­dala untuk merebut Papua pada 2 Januari 1962. Mayor Jenderal Soe­harto ditunjuk jadi komandan operasi militer. Belanda pun akhirnya mau berunding kembali dengan Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 disepakati Perjanjian New York yang menya­takan Belanda akan menye­rahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Selanjutnya pada 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan masalah Papua kepada Indonesia. Kemudian pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia me­lak­­sanakan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Rapera). Hasilnya rakyat Irian Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Ke­mudian pada Tahun 2001 Irian Barat dijadikan daerah Otonomi Khu­sus, nama Provinsi Irian Barat diganti menjadi Papua. Lalu pada tahun 2004 Papua dibagi menjadi dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat.

Padamkan Api Permusuhan

Untuk menyelesaikan rusuh Papua tidak bisa dengan pendekatan keama­nan semata. Harus ada beberapa langkah jangka pendek yang dilakukan segera. Pertama, menangkap aktor intelektual kelompok sparatis di Papua. Otak perlawanan di Papua dite­ngarai berasal dari dua kelompok yakni; kelompok "Ambisi kekuasaan" dan kelompok asing. Pemerintah harus berani memberi tindakan hukum buat oknum yang ingin memecah belah masyarakat Papua. (To act decisively)

Kedua, menyelenggarakan dialog antara pemerintah pusat dengan tokoh Papua guna mengakomodasi aspirasi seluruh kelompok kepentingan yang ada di Papua. Namun jangan pernah melibatkan pihak asing tentang urusan dalam negeri Indonesia. Karena me­ngundang pihak ketiga sama artinya kita memberikan "Lampu kuning" buat kelompok sparatis Papua. Akan menabur bibit pengakuan keberadaan Papua merdeka.

Ketiga, kesejahteraan Rakyat Papua. Pemerintah jangan hanya men­jadikan Papua sebagai sapi perah sekedar objek eksploitasi sumber daya alam semata. Utamakan kebutuhan primer makan, sandang dan pangan dibanding pembangunan insfrastruk­tur di Papua. Jangan pernah mereka lapar berlama-lama. Karena lapar dapat menimbulkan kemarahan siapa saja. Berikan mereka keadilan dan kesejahteraan segera. (Providing jus­tice and prosperity).

Keempat, mencintai Papua. Pemerintah perlu melakukan program mencintai Pa­pua. Artinya pemerintah pusat harus memberi perhatian lebih terhadap Propinsi yang satu ini. Tak perlu serta merta me­musuhi keinginan mereka yang berbeda. Namun berusaha berteman dengan mereka sambil meluruskan arah jalan mereka. (Accompany and straighten the path). Ka­rena akan semakin panas jika api dibawa­kan api, tapi api harus diredakan dengan air.

Hal ini pernah dilakukan Presiden Gus­dur. Saat itu rakyat Papua Ingin Menga­dakan Kongres Rakyat Papua yang ber­tujuan kemerdekaan Papua. Semua orang keberatan akan kongres tersebut. Sebalik­nya Presiden Gus Dur menyetujui kongres tersebut. Bahkan Gus Dur juga ikut mem­berikan bantuan dana. Politik Gusdur ini adalah strategi politik "Berteman sambil meluruskan." Karena sangat tidak mung­kin musuh mau mendengarkan nasihat kita?!

Kelima meminimalisir bibit kema­rahan. Pemerintah Indonesia harus men­cari tahu sekaligus menyelesaikan bibit kemarahan rakyat Papua. Penuhi berbagai keinginan atau kurangi keberadaan sosial ekonomi yang dianggap rakyat Papua me­ngecewakan. Pokoknya ciptakan keadil­an, kesejahteraan dan kegembiraan. Laku­kan sebagaimana Belanda menina­bobok­kan tanah jajahan. Namun jangan lupa meningkatkan strategi politik meng­hadapi Kelompok Sparatis Papua.

Penutup

Sabtu tanggal 28 September 2019, sisa asap kebakaran masih terlihat disepanjang jalan. Di sebuah Komando Distrik Militer 1702 Jayawijaya, sekitar 5.500 pengungsi kekurangan makananan dan pakaian. Karena mereka meninggalkan rumah menghindari kematian dengan baju di badan. Tanah, kenderaan dan berbagai ke­mewahan tinggal kenangan. Diiringi tangisan, doa-doa dipanjatkan. Semoga segera pulang ke kampung halaman, me­nyu­sul teman-teman yang sudah dipu­langkan. ***

Penulis adalah, guru SMA Negeri 16 Medan, mahasiswa Program Doktor UIN SU.

sumber:http://harian.analisadaily.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]