Kisah Tragis Penjual Sayur, Mukanya Hilang Setelah 4 Tahun Terkena Kanker Kulit

(foto: kompas.com)

Loading...

Medialokal.co - Siang itu, Jemadi (53), tampak terbaring lemas tak berdaya di lantai beralaskan tikar dan kasur gulung di rumahnya di RT 002/RW 003, Dusun Slemanan, Desa Bangunrejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (19/1/2018). Meski lemas, Jemadi masih bisa menggerakan tangan dan kakinya.

Sesekali ia menggapai potongan kardus untuk menghalau puluhan lalat yang menghinggap pada wajah dan tubuhnya.Terlihat belasan lalat beterbangan di sekitar tubuh Jemadi yang tertutup kain hitam. Lalat itu juga terlihat hinggap di atas tubuh yang terbungkus selimut warna hitam.

Meski wajah dan badan ditutup selimut, bau daging membusuk tercium samar-samar di rumah berdinding tembok bercat biru itu. Bau itu semakin menusuk saat selimut hitam yang menutup wajah dan badan dibuka.

Saat selimut dibuka, tampak wajah Jemadi ditutup topeng dengan bahan kertas bergambar dan masker warna hijau toska. Tak hanya itu, bagian dagunya terlihat diperban dengan kain kasa. 

Loading...

Topeng kertas dan masker dikenakan Jemadi untuk menutup mukanya. Bukan karena malu atau risih. Wajah Jemadi rupanya menghilang.

Kanker kulit sudah menggerogoti wajahnya selama kurun waktu empat tahun terakhir. Kulit dan daging wajahnya nyaris ludes tinggal menyisakan tulang saja. Kedua kantung matanya juga hampir hilang tinggal bola matanya. Giginya yang bertahan menempel di gusi tinggal hitungan jari. Tragisnya lagi, mata, hidung, dan lidah nyaris tak berfungsi lagi.

"Bapak menderita sakit seperti ini sejak empat tahun lalu. Bapak sudah berobat dengan berbagai cara namun belum sembuh," ujar Kuninda (29), anak sulung Jemadi saat ditemui di kediaman Jemadi, Jumat (19/1/2018).

Kuninda tak bisa bercerita banyak tentang kondisi dan awal mula bapaknya terserang penyakit kanker hingga menggerogoti seluruh wajah Jemadi. Kuninda tersibuk dengan anaknya yang terus menangis karena sakit panas tinggi.

Tak berapa lama kemudian, Kuninda memanggil Parti (55), kakak kandung Jemadi yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

Menurut Parti, kisah tragis yang menimpa Jemadi terjadi saat adiknya itu masih berjualan sayur di Jakarta empat tahun yang lalu. Saat itu muncul semacam jerawat di sisi kanan hidungnya. Tak lama kemudian, benjolan kecil itu pecah karena terkena kuku tangan hingga mengakibatkan hidungnya mengeluarkan banyak darah.

Parti mengatakan saat itu Jemadi sempat dilarikan ke rumah sakit di Indramayu. Saat itu, dokter memberitahukan Jemadi terkena kanker kulit. Namun saat ditawarkan operasi, Jemadi menolaknya.

Kanker kulit yang dibiarkan kian hari makin membesar hingga akhirnya menggerogoti bagian hidungnya. Meski hidungnya menghilang, Jemadi masih berjualan di Jakarta untuk menghidupi keluarganya. 

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Kondisi kesehatannya yang makin memburuk membuat Jemadi memilih pulang kampung halaman untuk tinggal bersama Kuninda, anak sulungnya.

Jemadi dan keluarga pasrah

Kondisi kesehatan Jemadi terus menurun setelah Peni, istrinya meninggal karena sakit ginjal. Keluarga akhirnya memutuskan membawa Jemadi ke RSUD Dr Harjono untuk mendapat perawatan. Sesaat berada di rumah sakit milik Pemkab Ponorogo, Jemadi dirujuk ke RSU Dr. Soetomo Surabaya.

"Jemadi sempat dibawa ke Surabaya dan mendapat rumah singgah karena kamar di rumah sakit penuh sehingga harus menunggu. Empat hari menunggu tak dapat kamar, Jemadi meminta dibawa pulang untuk dirawat di rumah," ungkap Parti.

Lain halnya dengan Parti, Damin (60), kakak kandung Jemadi menuturkan pihak keluarga sudah mencari beraneka obat-obatan alternatif untuk kesembuhan Jemadi. Namun setali tiga uang, kanker kulit yang menyerang Jemadi makin mengganas.

"Sudah banyak orang pintar dan pengobatan alternatif yang kami didatangi. Tetapi Jemadi belum juga sembuh," ungkap Damin.

Untuk kesehariannya, keluarga hanya memberikan makanan yang lembut seperti bubur sumsum, wedang roti, pisang. Hanya saja, makanan yang diberikan acapkali susah masuk karena lengket di mulut.

Bila Jemedi mengeluh kepala sakit, keluarga hanya memberikan obat penghilang sakit kepala yang dibeli di warung. Sementara untuk mencegah pembusukan daging makin melebar, keluarga memberikan obat sunat berupa serbuk yang ditabur di beberapa bagian muka.

Untuk merawat Jemadi, dua anaknya, Kuninda dan Pandi tak bisa berbuat banyak. Kuninda, sebagai ibu rumah tangga hanya mengharapkan pemasukan dari suaminya yang bekerja di Jakarta. Sementara Pandi, mencari nafkah dengan bekerja serabutan.

"Kami keluarga sekarang hanya bisa pasrah. Kami serahkan semuanya kepada Allah untuk yang terbaik buat Jemadi," jelas Damin.

Nada pasrah juga disampaikan Jemadi. Jemadi mengaku sudah tak mau lagi dibawa ke rumah sakit. Ia lebih memilih pasrah dengan kondisi saat ini. "Saya sudah pasrah dan kalah," demikian Jemadi. (Wan)

 

Sumber: kompas.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]