Rahasia Persatuan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (4)


Loading...

MEDIALOKAL.CO - TAK HANYA perang bersenjata, demonstrasi juga ditempuh para pahlawan saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

 
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
 
Awal September 1947. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutus tiga Konsul Jenderal dari Tiga Negara: Inggris, Australia, Belgia yang berkedudukan di Jakarta untuk menyelidiki perkembangan hasrat kemerdekaan rakyat Bukittinggi.
 
Menyongsong kabar itu, para pimpinan Front Pertahanan Nasional (FPN) berunding di kantornya, kini jadi Gereja Katholik Bukittinggi.
 
Ketua FPN Buya Hamka yang memimpin perundingan itu, dalam otobiografinya Kenang2an Hidup mencatat, setelah membaca situasi bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah mencapai puncak perhatian dunia, semua sependapat, “kedatangan Konsul Tiga Negara itu harus disambut dengan demonstrasi besar.”
 
Istana Negara di Bukittinggi ditelpon. Rencana itu disampaikan kepada Bung Hatta.
 
Pukul 11 siang, Bung Hatta diminta membawa ketiga tamu itu, beserta wartawan-wartawan dari luar negeri yang mengirinya ke muka beranda Istana Negara.
 
Aksi Massa 
 
Pada hari H, sejak pukul 9 pagi, setengah jam sesudah tamu itu mendarat, berbunyilah tabuh dan beduk di seluruh masjid dan surau. Bersahut-sahutan sebagai isyarat.
 
Tak hanya dari dalam kota bukittinggi. Berdatangan juga massa rakyat dengan mobil-mobil dan kereta angin. Propaganda mulut ke mulut memang ampuh. Setengah 11 penuh sesaklah Kota Bukittinggi.
 
Longmarch dari kantor FPN menuju Jam Gadang. Rakyat membawa panji-panji, slogan-slogan dan bambu runcing. Menurut catatan Buya Hamka, tidak kurang 10 ribu orang banyaknya. Boleh jadi 15 ribu.
 
Sesuai rencana, Bung Hatta membawa para tamu agung ke beranda menyaksikan demonstrasi itu.
 
“Tetamu-tetamu kami yang agung,” seru Buya Hamka sebagai pimpinan massa.
 
“Terharu kami menerima kedatangan tetamu yang mulia semua. Tadinya ketika kapal terbang yang membawa tuan-tuan akan mendarat, kami sangka kapal terbang muuh yang menyelidiki daerah kami yang merdeka, sehingga rakyat bersembunyi.
 
Setelah tuan-tuan yang mulia turun dan terus ke Istana ini, mengertilah kami, bahwa yang datang bukan musuh. Tetapi utusan pembangun perdamaian. Selamat datang tetamu yang mulia!”
 
Melihat air muka Bung Hatta yang berseri-seri, Buya Hamka berseru…”Hidup Bung Hatta! Hidup Bung Karno! Hidup kedua pemimpin kita!” Dan disambut sorak sorai gegap gempita.
 
Setelah hening kembali, Ketua FPN Buya Hamka kembali meneruskan pidatonya.

“Tetamu yang mulia! Tuan lihat sendiri, begitu indah tanah air kami. Adakah tuan lihat di dunia, alam yang seindah ini, gunungnya, sawahnya, dan seluruh alamnya?
 
Tiga ratus lima puluh tahun lebih lamanya tanah yang kami cintai ini, lepas dari tangan kami, padahal kami yang punya. Tiga ratus lima puluh tahun lamanya kami sebagai orang dagang di tanah air kami sendiri.
 
Sejak 17 Agustus 1945, kedua pemimpin kami, Bung Karno dan Bung Hatta yang kami cintai ini menyampaikan hasrat kami kepada dunia! Sejak tanggal itu kami telah merdeka! Kami telah merdeka tuan-tuan yang mulia!
 
Dan dalam kemerdekaan itu, kami tidak hendak membenci orang lain. Kami ingin bersahabat dengan segala bangsa, dengan banga tuan ketiganya dan bangsa fana sekalipun.”
 
Hening. Semua menyimak orasi Buya Hamka.
 
“Tuan lihat,” lanjutnya sambil melayangkan pandangan kepada beribu-ribu rakyat di lapangan Jam Gadang. “Tuan lihat! Bagaimana damainya wajah kami dan mulianya tetamu di muka kami.
 
Sekarang dengan tiba-tiba, kemerdekaan itu dirampas kembali oleh Belanda dengan segenap kekerasan dan kekuataannya, dengan senjatanya yang lengkap.
 
Kami terpaksa mempertahankan hak kami, wahai paduk tuan!
 
Meskipun pada kami hanya bambu runcing. Kami tidak akan lepaskan lagi tanah air kami yang indah ini. Dan dalam kemerdekaan yang kami perdebat dengan darah dan air mata ini, kami tidak menggganggu dan mengusik orang asing yang hidup di tanah air kami ini.
 
Merdeka buat Bung Hatta! Merdeka buat tetamu-tetamu kita! Merdeka!”
 
Ribuan rakyat kompak menyahut, “merdekaaaa!” Gemuruh!
 
Wartawan muda Zuhir menerjemahkan pidato itu ke bahasa Inggris. Bung Hatta terlihat menitikkan air mata. Payah dia mengulum tangis. Haru.
 
Konsul Australia atas nama Tiga Negara menjawab bahwa suara itu akan disampaikan ke badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selekas-lekasnya.
 
“Wartawan-wartawan luar negeri juga menulis demostrasi bersejarah itu dengan penuh penghargaan,” kenang Buya Hamka.
 
Sekadar mengingatkan, FPN adalah front persatuan rakyat di Ranah Minang saat perang kemerdekaan Indonesia. Rapat pembentukan front persatuan ini dipimpin oleh Datuak Batuah, tokoh gaek dari Partai Komunis Indonesia (PKI) guru mengaji Buya Hamka semasa kanak-kanak. (jpnn.com)






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]