OPINI

Kebijakan Deregulasi dan Debirokratisi Dibidang Pertahanan Menyongsong Perdagangan Bebas

Dorma Hotmaria Sianipar (Istimewa)

Loading...

Oleh : Dorma Hotmaria Sianipar

Mahasiswa Fakultas Hukum UNRI dan
Anggota GmnI Komisariat Hukum UNRI-Cabang Pekanbaru

 

MEDIALOKAL.CO - Saat ini, hubungan tanah dengan manusia menjadi hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Seiring perkembangan zaman, tanah menjadi faktor terwujudnya pembangunan suatu daerah, sehingga konflik tanah juga mengalami peningkatan secara signifikan. Tanah bukan hanya untuk kepentingan sendiri akan tetapi untuk kepentingan umum seperti yang telah diselenggarakan oleh negara dalam hal pembangunan. Kebutuhan dan permintaan di bidang tanah semakin meningkat, sedangkan luas tanah sangat terbatas.

Menurut KBBI (1994)  tanah merupakan permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi disuatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas, dan bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu ( pasir, cadas, napal dan sebagainya). Secara yuridis menurut pasal 4 UUPA, tanah merupakan atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Loading...

Kebijakan deregulasi di bidang pertanahan merupakan kebijakan yang dilakukan dan dilaksanakan oleh pemerintah guna untuk mengurangi atau meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal di bidang pertanahan. Tujuan dilakukannya kebijakan deregulasi di bidang tanah adalah untuk meningkatkan devisa negara melalui pendirian perusahaan asing di tanah Indonesia, mampu mendongkrak bidang perekonomian Indonesia, meningkatkan kepercayaan investor, serta memperbaiki iklim usaha di Indonesia. Dengan ketentuan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 2 tahun 2015 tentang standard Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan dalam kegiatan Penanaman Modal.

Selain mendongkrak perekonomian di Indonesia, kebijakan deregulasi di bidang pertanahan juga mempunyai tujuan untuk membantu masyarakat awam mempertahankan tanah khususnya tanah ulayat/ tanah adat, sehingga terciptanya kepastian hukum dan perlindungan hukum, penyederhanaan izin pertanahan, dan penggunaan tanah yang berkelanjutan.

Kebijakan debirokratisasi di bidang pertanahan merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaharui dan menyederhanakan tata, prosedur  administratif yang serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan cepat dalam proses penyelenggaraan pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat oleh pemerintah. Dalam konsep debirokratisasi lebih tendensi kepengurusan pendaftaran tanah yang lebih praktis. Sehingga terciptanya tatanan agraria yang lebih maju dan modern sesuai UU NO. 5 Tahun 1960 tentang Agraria.

Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi dibidang pertanahan dimungkinkan untuk  menghindari adanya konflik sengketa tanah yang mengalami peningkatan secara signifikan seiring bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan , dan permintaan masyarakat. Sehingga dengan kebijakan ini, Indonesia mampu menyongsosng perdagangan bebas. Maksudnya adalah tidak ada sikap maupun diskriminasi terhadap penggunaan tanah di wilayah Indonesia, seperti yang telah diatur di Pasal 9 ayat 2 UUPA tentang persamaan bagi setiap warga negara Indonesia baik Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan.

CONTOH KASUS:
“ Tercatat, Ada 2.546 Sengketa Tanah Sepanjang 2018”
Sengketa tanah di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut Kepala Bagian Humas Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional ( ATR/ BPN), Harison Mocodompis, sepanjang tahun 2018 tercatat ada 2.546 sengketa tanah.

“ Untuk itulah kami mempercepat pendaftaran tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL),” ujar Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, RB Agus Widjayanto dalam keterangan tertulis.

Menurut Agus, sengketa yang terjadi karena beragamnya masalah yang menjadi dasar dalam pembuatan sertifikat. Hal ini mendasari Kementrian ATR/ BPN untuk menyelesaikan PTSL secara cepat.

“ Ada girik, ada garapan, ada segala macam. Kondisi yang seperti ini menyebabkan rawan sengketa. Kalau itikad baik/ bona fide, maka sengketanya bisa selesai. Tapi ada juga yang dibuat-buat,” imbuh Agus.

Sengketa pertanahan juga timbul akibat merajalelanya mafia tanah. Untuk mengatasi hal ini, Kementrian ATR/ BPN menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan kepolisian RI.

Agus menambahkan untuk urusan administratif menjadi kewenangan kementrian ATR/ BPN, sedangkan urusan pidana merupakan urusan kepolisian. Diharapkan program yang sudah berjalan sejak tahun lalu itu dapat memberikan efek yang signifikan dalam pemberantasan mafia tanah.

“ Saya kira kedepannya tidak ada lagi mafia tanah sehingga dapat menjamin kelancaran progam PTSL,” tuntas Agus. (*)

 






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]