Remaja, Orang Tua dan Media Sosial


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Di era digital ini, sosial media me­na­war­kan berbagai ke­mudahan bagi para pe­ng­gunanya untuk meng­akses dan mem­bagikan informasi secara ce­pat, mu­dah, dan murah. Berdasarkan hasil riset Wearesosial Hootsuite yang di­rilis pada Januari 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56 persen dari total po­pu­lasi. Jumlah tersebut naik 20 persen dari sur­vei sebelumnya. Sementara pe­ng­guna me­dia sosial mencapai 130 juta atau se­kitar 48 persen dari populasi. Pe­ngguna media sosial di Indonesia pada umumn­ya adalah remaja. Para remaja umumn­ya menggunakan media sosial untuk men­dapatkan informasi tentang gaya hidup yang terbaru.

Menurut pakar kesehatan masyarakat, Prof Siswanto Agus Wilopo, Rabu (9/5), di Fakultas Psikologi UGM, media sosial sejak lama sebenarnya menjadi faktor penting. Persoalannya sosial media itu bisa positif bisa negatif. Saat ini masing-masing individu tidak terlalu selektif dalam melihat informasi itu, sehingga banyak negatifnya itu lebih diserap oleh anak-anak sekarang. Informasi negatif inilah yang menjadi salah satu pemicu remaja cenderung depresi. Banyak konten-konten yang tidak membangun bagi kesehatan mental anak-anak re­maja, termasuk tentang gambaran diri mereka atau body image.

Tanpa disadari anak-anak remaja membangun standar-standar keber­har­gaan diri mereka berdasarkan konten-kon­­ten sosial media, terutama soal pe­nam­­pilan dan status sosial. Sering sekali yang ditampilkan di sosial media itu hanyalah hal-hal yang baik-baik saja, se­hi­ngga banyak juga remaja yang merasa iri, cemas dan stres karena me­reka mem­bandingkan diri mereka de­ngan apa yang mereka lihat di sosial media. Pa­dahal rea­litanya yang ditam­pikan di sosial me­dia itu tidak semuanya be­nar. Se­tiap ma­nusia ada masa-masa terburuk dan baha­gianya, namun tidak semua orang mau me­nampilkan bagian ter­buruk­nya di kha­layak umum, termasuk di sosial media.

Beberapa media sosial yang bersifat gra­fis, seperti Snapchat dan Instagram le­bih mementingkan tampilan fisik, me­ngam­­bil foto, dan juga komentar me­nge­nai foto tersebut. Media ini banyak di­gu­­na­kan oleh para remaja untuk me­nam­­pil­kan fotonya di sana. Pada saat peng­­guna lain memberikan komentar-ko­men­tar yang tidak pantas (cyber bullying) mengenai penampilannya, maka hal itu akan mem­buatnya menjadi gelisah, merasa tidak berarti dan berujung pada depresi.

Loading...

Hasil penelitian yang dimuat dalam Journal of Medical Internet Research, menyatakan bahwa anak-anak muda yang menjadi korban kekerasan di media sosial (cyber bullying) lebih rentan untuk menyakiti diri sendiri hingga bu­nuh diri. Sementara mereka yang ber­peran sebagai pelaku, 20 persen berisiko lebih tinggi memiliki pikiran untuk bunuh diri bahkan mencoba bunuh diri.

Pada awalnya, seorang remaja yang menjadi korban cyber bullying akan mengalami gangguan emosional, psi­ko­logis, perilaku, kesulitan dalam berkon­sentrasi, serta sulit untuk bergaul dengan te­man sebaya. Tidak hanya itu, anak-anak korban cyber bullying juga kerap me­rasakan sakit kepala yang terjadi ber­ulang-ulang dan kesulitan tidur. Bahkan satu dari empat remaja menga­takan bah­wa mereka merasa tidak aman ber­ada di sekolah. Jika gangguan ini tak di­tangani dengan cepat, maka bukan tidak mung­kin menyebabkan keinginan bunuh diri.

Kejadian ini terjadi pada seorang gadis ber­nama Reni Novita Dewi, 23 ta­hun. Reni melompat dari lantai 3 Apar­temen Mar­gonda Residence (Ma­res) 5, Kota Depok, Senin (11/3/2019) sekitar pukul 18.45. Warga asal Kam­pung Pa­buaran, Bojong­gede, Kabupaten Bo­gor itu diduga me­ngakhiri hidupnya karena tidak kuat me­nahan cyber bullying yang dia terima. Kasus cyber bullying ini juga melanda Bo­wo Alpenliebe yang sempat tenar be­berapa waktu lalu. Aksi Tik Tok Bo­wo Al­penliebe menuai ca­cian kasar dari para netizen. Seperti yang dilansir liputan6 (6/7/2018), Bowo Alpenliebe ter­paksa ber­henti sekolah karena tidak ta­­han di bullying, baik di sekolah maupun di media sosial.

Solusi

Tumbuh kembangnya seorang anak tidak lepas dari peran orang tua. Orang tua memegang peranan besar bagi per­tum­buhan seorang anak, yang men­jadi tempat anak-anak remaja berbagi ten­tang kehidupan mereka, yang menjadi me­dia peraga untuk mereka contoh atau te­la­­dani tentang bagaimana mereka harusnya bersikap dan berucap. Namun mirisnya banyak orang tua menganggap bahwa anak yang telah mengenal dan me­­nggunakan media sosial dalam ke­se­ha­riannya tidak membutuhkan lagi pen­dapat orang tua dalam memecahkan segala persoalan atau kesulitan yang dialami anak dalam proses belajarnya.

Alasan-alasan klasik tersebut kenya­taannya sebagai bukti kurang pedulinya orang tua terhadap masalah anak. Kurang pedulinya orang tua tampak jelas ketika mereka tidak memberikan waktu untuk hanya sekadar menanyakan kabar se­cara lisan atau bercerita tentang hal-hal yang dialami dalam kesehariannya, baik di sekolah, di masyarakat maupun di rumah.

Sangat diperlukan intensitas komu­nikasi serta perhatian dari orang tua ketika mereka berada di rumah, seperti diperhatikan ketika bercerita, kemudian dihargai ketika mereka sedang mengu­ta­rakan apa yang ingin mereka sam­pai­kan dan apa yang menjadi perasaan me­reka saat itu, serta memberikan apre­siasi positif untuk setiap hal-hal baik yang sudah mereka usahakan kerjakan. Hu­bungan yang positif akan meng­ha­sil­kan perbuatan yang positif pula. Anak yang men­dapatkan sambutan yang hangat dan positif dari orang tua mereka akan me­nularkan hal yang serupa kepada teman-temannya. Anak akan merasa dihargai, sehingga anak akan melakukan kegiatan yang positif kepada orang lain. Mereka juga tidak perlu terganggu atau ketergan­tungan terhadap sosial media karena per­hatian dan keberrhargaan serta penga­ku­an sudah mereka dapatkan dari keluarga.

Oleh karena itu, diharapkan sekali orang tua mengambil perannya kembali se­bagai figur teladan dan pengendali da­lam penggunaan media sosial anak secara bijak dan bertanggung jawab. Di samping itu, tindakan pencegahan ini juga akan berjalan dengan baik jika di­dukung oleh program yang dicanangkan oleh pemerintah.

Revolusi mental sebagai program pe­merintah juga diharapkan mampu un­tuk men­cegah perilaku yang berkaitan de­ngan cyber bullying yang masih marak terjadi hingga saat ini. Biarlah kiranya ni­­lai revolusi mental benar-benar di­ga­ung­­­­kan dan tersampaikan dengan baik me­­lalui keluarga, lingkungan pen­di­di­kan, dan masyarakat terbentuknya pri­ba­di yang jujur dan sikap meng­hargai.***

Penulis merupakan mahasiswi program studi Konseling Pastoral di Sekolah Tinggi Teologia (STT) BAPTIS, Kota Medan/alumni S1 program studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Sumatera Utara.

Sumber:http://harian.analisadaily.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]