ARTIKEL

Eksistensi Derden Verzet dalam Perkara Pidana Narkotika


Sabtu, 23 Oktober 2021 - 20:50:58 WIB
Eksistensi Derden Verzet dalam Perkara Pidana Narkotika YP Sikumbang

Medialokal.co - Istilah Derden Verzet adalah istilah didalam hukum acara perdata merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang semula bukan pihak berperkara, tetapi karena merasa berkepentingan atas objek yang dipersengketakan dimana objek tersebut akan disita atau dijual atau dilelang, maka ia berusaha mempertahankan objek tersebut dengan alasan itu miliknya.

Sebagaimana diatur didalam Pasal 195 (6) Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dikatakan derden verzet sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab itu dikatakan luar biasa). Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.

Didalam Perkara Pidana lebih khususnya Perkara Pidana Narkotika kali ini penulis mencoba membahas tentang eksistensi Derden Verzet atau perlawan pihak ketiga, dimana pihak ketiga yang dirugikan atas putusan pengadilan yang diputus oleh hakim yang memeriksa suatu perkara tindak pidana narkotika.

Apa dasar hukum derden verzet di dalam perkara pidana narkotika?

Pertama, sebelum menjelaskan Dasar hukum derden verzet atau keberatan, keberatan disini adalah menyoal keberatan atas putusan pengadilan dalam tindak pidana narkotika yang dimana  barang sitaan yang dianggap berhubungan dengan tindak pidana narkotika tersebut adalah dirampas oleh negara, padahal diketahui bahwa barang sitaan yang dirampas oleh negara tersebut merupakan bukan milik terdakwa, melainkan milik pihak ketiga yang mempunyai kepentingan kepemilikan lalu yang dimana pihak ketiga tersebut tidak berhubungan sama sekali oleh tindak pidana tersebut, hanya karena diwaktu dan tempat yang salah barang pihak ketiga tersebut dipinjam atau digunakan oleh terdakwa kala itu. 

Sebelum jauh kita membahasnya tentu kita harus tau apa yang dimaksud dengan barang sitaan.

Kapan suatu barang dapat dianggap barang sitaan?

Menurut pasal 39 KUHAP

(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Karena sudah menjadi kewenangan dari penyidik untuk dapat menetapkan barang yang bisa menjadi barang sitaan dan sesuai Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (PP 27/1983) yaitu benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan sedangkan barang rampasan negara adalah benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.

Sebagai contoh si A selaku Pelaku tindak pidana Narkoba meminjam kepada si B mobil, oleh si A mobil tersebut digunakan untuk mengangkut Narkoba, faktanya si B tidak tau sama sekali bahwa mobilnya digunakan A untuk melakukan suatu tindak pidana, karena si A tertangkap oleh Polisi mobil si B dijadikan barang sitaan karena diduga dijadikan alat untuk melakukan suatu tindak pidana narkotika, setelah persidangan kiranya putusan pengadilan menyatakan merampas mobil si B tadi untuk menjadi barang rampasan untuk negara, nah dalam hal ini si B boleh menggunakan keberataan atas putusan itu sepanjang si B beritikad baik dan mampu membuktikan atas keberatannya.

Dimana dasar hukum atas keberatan ini bisa kita lihat didalam UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal 101ayat (2) dinyatakan “Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.”  Jadi waktu untuk menyampaikan keberatan atas putusan tersebut hanya diberikan waktu 14 hari setelah pembacaan putusan oleh majelis hakim tingkat pertama.

Menurut penulis upaya hukum derden verzet di dalam Pasal 101 ayat (2) Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini mengadopsi sistem Hukum acara Perdata, sesuai redaksional pasalnya, keberatan tersebut  dalam jangka 14 hari setelah putusan dibacakan majelis hakim.

Jika didalam perdata biasa Pasal 378 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”), pihak-pihak ketiga berhak melakukan perlawanan terhadap suatu putusan yang merugikan hak-hak mereka, jika mereka secara pribadi atau wakil mereka yang sah menurut hukum, atau pun pihak yang mereka wakili tidak dipanggil di sidang pengadilan, atau karena penggabungan perkara atau campur tangan dalam perkara pernah menjadi pihak, mekanismenya adalah permohonan secara perdata sesuai hukum acara perdata. Namun yang menjadi perhatian dan  kekhususan didalam derden verzet dalam pasal 101 UU narkotika ini hanya menyoal Barang rampasan yang telah diputus oleh majelis hakim milik pihak ketiga.

Bagaimana prosedur keberatan atas barang rampasan dalam perakra narkotika?

Didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak ada penjelasan khusus mengenai Pasal 101 ayat (2) tentang keberatan atas barang rampasan milik pihak ketiga yang beritikad baik, namun dalam hal ini penulis meyakini ketika hal ini tidak diatur, maka yang menjadi dasar derden verzet pidana adalah sesuai mekanisme perdata, jadi sistem keberatannya adalah dengan membuat permohonan ke pengadilan negeri tingkat pertama dimana perkara a quo di putus, yang menjadi perdebatan nantinya adalah ketika diajukan adalah frasa pasal 101 ayat (2) UU narkotika terkait frasa “pihak ketiga yang beritikad baik”  “Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.” 

Frasa dalam pasal inilah yang kemudian menjadi PR penting dalam Permohonan keberatan atas barang sitaan yang diputus menjadi barang rampasan, tentunya karena menggunakan sistem Hukum acara perdata, yang menjadi keharusan dari pihak pemohon untuk mengajukan ini adalah harus kemudian bisa membuktikan secara formil kepemilikan atas barang sitaan yang telah menjadi rampasan tersebut, peran lawyer/advokat dalam hal ini untuk menyusun permohonan ini adalah sangat penting karena dianggap paham tentang hal tersebut.

Oleh : Yudhia Perdana Sikumbang (Advokat, Legal Konsultan & Mediator)