NASIONAL - Dalam rangka Hari Ibu Nasional dan Refleksi Akhir tahun 2025 serta penggalangan dana Bencana Sumatera, Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia se-Indonesia menggelar Diskusi Feminisme Pancasila dengan tema Pelopor Perempuan Terpelajar Masa Kini daring melalui Zoom dan Live Streaming Youtube.
Diskusi ini diinisiasi oleh DPC GMNI Jakarta Timur sebagai ikhtiar ideologis dan organisatoris yang dijalankan secara sadar, terarah dan berkelanjutan.
Perlahan namun pasti forum ini merajut simpul-simpul silaturahmi dan persatuan GMNI secara utuh, melintasi batas geografis dan sekat kedaerahan dari Ujung Barat Indonesia di Pulau Sumatera, menyusuri Pulau Jawa sebagai pusat denyut sejarah pergerakan nasional hingga Ujung Timur Nusantara yang mencakup wilayah Flobamorata, Tirosa, Maluku, dan Papua dalam satu nafas perjuangan, dan cita-cita founding father.
Rangkaian acara diawali melalui pembukaan oleh Michelle Filladelfia selaku Ketua Komisariat GmnI Univ Jayabaya Jaktim selaku MC.
Kesuksesan live streaming acara ini didukung penuh oleh Sociocorner dan PT Upquality.
Acara diawali dengan penyampaian laporan kegiatan oleh Ketua Pelaksana, Sarinah Yulia Brian Dini, selaku Ketua Komisariat GMNI Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Timur. Dalam laporan tsb dirancang sebagai ruang dialektika dan konsolidasi gagasan yang strategis guna memperkuat peran perempuan terpelajar dalam ranah sosial dan politik kebangsaan. Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi pemantik lahirnya kontribusi nyata perempuan kader GmnI.
Dari sisi partisipasi, kegiatan ini menunjukkan antusiasme yang tinggi. Tercatat sebanyak 143 kader GmnI telah mendaftar pada tahap awal dan pada saat pelaksanaan jumlah kehadiran meningkat hingga mencapai kurang lebih 200 peserta dari berbagai daerah.
Hal ini mencerminkan besarnya perhatian dan semangat kader terhadap isu feminisme yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Kegiatan ini semakin diperkuat dengan hadirnya para Sarinah pelopor sebagai wujud nyata sinergitas dan pengingat perempuan sebagai pemersatu bangsa. Adapun tokoh-tokoh yang hadir antara lain Tiarma Simanjuntak, S.H., selaku Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta; Nova Eliza selaku Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Depok Provinsi Jawa Barat; Yohana Acelina Bureni selaku Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur; Rahmania Benamen selaku Kepala Bidang Komunikasi Antar Lembaga DPC GMNI Mimika Provinsi Papua Tengah; Mahfuzoh selaku Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Pekanbaru Provinsi Riau; Juniar Amalia Saputri selaku Wakil Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Tangerang Selatan Provinsi Banten; Siska Simanjuntak dari DPC GMNI Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara; Deana Sari dari DPC GMNI Surakarta Provinsi Jawa Tengah; serta Nadila Eka Anggini dari DPC GMNI Surabaya Raya Provinsi Jawa Timur.
Suasana diskusi kian menghangat dan sarat refleksi ketika Sarinah Tiarma menyampaikan opening speech mewakili sarinah se-Indonesia. Dengan tutur yang tenang menyampaikan pesan pentingnya kehadiran jiwa keibuan sebagai kekuatan moral gerakan menjadi pengingat, penuntun sekaligus perekat persatuan GMNI agar tetap utuh dalam satu cita dan arah perjuangan.
Kemudian banyak sekali bung-bung mengira bahwa sarinah menjadi pelengkap sejarah. Padahal sarinah sebaik dan sepatutnya sebagai subjek politik yang sadar, terdidik dan berdaya memimpin perubahan sosial demi pembebasan kaum Marhaen. Sarinah dipanggil untuk bahu-membahu, saling menguatkan dan dengan kasih perjuangan mengingatkan para bung-bung agar darah ideologi Marhaenisme tetap mengalir jernih dalam setiap langkah pengabdian.
Dilandasi rasa keibuan dan tanggung jawab sejarah, GmnI berupaya merumuskan Dokumen Konsepsi Road Map Feminisme Pancasila menuju Indonesia Emas 2045 yang selaras dengan Asta Cita. Tiarma menegaskan bahwa persoalan perempuan adalah denyut utama revolusi sosial karena itu kader Sarinah dituntut tampil sebagai pelopor berani memimpin, setia merawat persatuan.
Sebagai landasan teoritik dan ideologis diskusi, menghadirkan Keynote Speaker Ibu Eva Kusuma Sundari dari Institut Sarinah Indonesia. Beliau menegaskan bahwa Feminisme Pancasila merupakan gerakan keadilan gender khas Indonesia yang tumbuh dari rahim nilai-nilai luhur bangsa serta jejak panjang kepemimpinan perempuan dalam sejarah Nusantara.
Berbeda dengan arus feminisme global yang kerap berangkat dari konteks sosial-budaya Barat, Feminisme Pancasila menempatkan pemulihan relasi sosial, keseimbangan spiritual dan nilai gotong royong sebagai poros utama perjuangan. Perempuan diposisikan sebagai Ibu Bangsa penjaga nurani kolektif dan perawat peradaban yang memiliki tanggung jawab historis.
Setelah paparan kunci tersebut, rangkaian acara dilanjutkan dengan Sesi Panel Diskusi I yang dipandu oleh Intania Putri Mardiyani, Kepala Bidang Kesarinahan DPC GMNI Jakarta Timur periode 2022-2024 sekaligus Putri Bumi Energi Hijau Tahun 2023. Sesi ini dirancang sebagai ruang dialektika progresif untuk membongkar dan menata ulang relasi ekonomi, politik, dan hukum melalui perspektif Feminisme Pancasila dengan menegaskan perempuan sebagai subjek revolusioner yang berdaulat secara ekonomi, berdaya secara politik dan terlindungi secara hukum dalam kerangka keadilan sosial bagi kaum Marhaen.
Pada sesi ke-I, Ibu Dr. Dra. Immaculata Fatima, M.MA., selaku Wakil Rektor Universitas Flores Provinsi NTT, memaparkan perspektif ekonomi dengan menekankan peran strategis perempuan terpelajar sebagai agen perubahan dalam pembangunan ekonomi yang berlandaskan ideologi Marhaenisme. Perempuan diposisikan sebagai aktor penting dalam penguatan ekonomi rakyat khususnya melalui peningkatan kapasitas intelektual dan kesadaran sosial.
Melalui wadah Kesarinahan, perempuan kader GMNI diproyeksikan untuk tumbuh sebagai kader yang memiliki daya analisis kritis, komitmen ideologis serta sensitivitas sosial dalam membela kepentingan masyarakat kecil. Pendidikan bagi perempuan dipandang sebagai faktor kunci dalam peningkatan kualitas hidup, pemberdayaan ekonomi keluarga dan komunitas serta sebagai instrumen struktural dalam upaya pengurangan kemiskinan.
Pembahasan kemudian diperdalam oleh Ibu Susi Maryanti, S.H., M.H., dari Bidang Perlindungan Perempuan, Anak dan Disabilitas DPN PERADI, yang menyoroti isu politik dan hukum terkait perempuan. Beliau menekankan bahwa membicarakan perempuan berarti membicarakan wanita dan rumahnya di mana rumah seharusnya menjadi simbol perlindungan bagi seluruh anggota keluarga. Namun realitas menunjukkan bahwa rumah yang mestinya menjadi ruang privat paling aman, kerap menjadi lokus pelanggaran HAM baik ringan hingga berat melalui kekerasan domestik yang sistematis dan emosional.
Rangkaian acara berlanjut pada Sesi Panel Diskusi II, yang dimoderatori oleh Andi Tenry Azzah selaku Duta Potensi Pemuda Indonesia Jakarta 2025 sekaligus mahasiswa Universitas Indonesia. Sesi ini diarahkan sebagai ruang dialog multidisipliner yang mengaitkan perspektif kedokteran, kesehatan mental dan sosiologi dalam konteks feminisme Pancasila. Diskusi menekankan pentingnya pemahaman holistik terhadap kesejahteraan fisik dan psikologis perempuan, serta dampak struktur sosial dan budaya terhadap kesehatan mental, peran keluarga dan dinamika komunitas. Peserta diajak untuk menganalisis bagaimana intervensi sosial, pendidikan dan kebijakan kesehatan dapat memberdayakan perempuan, memperkuat kapasitas sosial mereka dan menciptakan lingkungan yang inklusif serta mendukung keadilan sosial.
Pada sesi ke-II ini Prof. Dr. dr. Margarita Maria Maramis, Guru Besar Psikiatri Universitas Airlangga Provinsi Jawa Timur, yang memaparkan secara mendalam perspektif kesehatan, khususnya kesehatan mental perempuan Marhaen sebagai hak dasar.
Beliau menekankan bahwa kesehatan mental merupakan fondasi utama bagi kualitas hidup yang sejahtera dan produktif.
Perempuan Marhaen kerap menghadapi tekanan psikologis yang kompleks akibat beban ganda, keterbatasan ekonomi serta stigma sosial yang membatasi aktualisasi diri. Kesehatan mental menjadi kondisi individu dan hak dasar yang harus dilindungi dan didukung melalui keadilan sosial, kebijakan yang responsif dan sistem pendukung komunitas yang inklusif.
Pemberdayaan perempuan dapat diwujudkan melalui penguatan ekonomi dan melalui perhatian terhadap kesejahteraan emosional dan psikologis.
Dengan menjaga kesehatan mental, perempuan mampu menjadi agen perubahan yang tangguh, berdaya dan berkontribusi signifikan dalam keluarga maupun masyarakat secara lebih luas.
Melengkapi rangkaian diskusi sesi II, Ibu Agnes Sri Poerbasari dari Dewan Ideologi DPP Persatuan Alumni GMNI hadir memberikan perspektif sosiologis terkait peran perempuan dalam masyarakat. Beliau mengajak perempuan terdidik untuk berjuang secara kolektif dalam membangun masyarakat yang bebas dari penindasan selaras dengan amanat UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila. Perempuan berperan sebagai pelopor perubahan sosial yang kritis dan konstruktif.
Berbagai pranata sosial dan sistem kebudayaan seringkali menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak adil dan tidak setara, di mana mereka menanggung beban ganda antara pekerjaan publik dan tanggung jawab domestik.
Meskipun secara hukum perempuan memiliki hak yang setara, realitas sosial menunjukkan bahwa banyak perempuan belum sepenuhnya merdeka atau menyadari jati diri mereka.
Pada penutup seluruh rangkaian diskusi ini menegaskan posisi strategis GmnI dalam memandang persoalan perempuan sebagai inti dari perjuangan kerakyatan. Melalui konsep Sarinah, perempuan ditempatkan sebagai motor penggerak perubahan yang mampu menghadapi dan melawan ketimpangan struktural. Diskusi ini menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan terus menerus dilihat sebagai isu sosial dan perlu adanya fondasi cakar ayam lebih dalam demi terciptanya terwujudnya Pancasila sebagai Akar Historis Marhaenisme.(*)