Pasal Penghinaan Presiden Pernah Dihapus MK, Bagaimana Bila Digugat Lagi?


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Pasal Penghinaan Presiden masuk dalam RUU KUHP dan akan disahkan pada 24 September 2019. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus materi pasal tersebut 13 tahun lalu. Lalu, bagaimana bila pasal itu ikut disahkan DPR dan digugat kembali ke MK?

Secara materi, Pasal Penghinaan Presiden versi KUHP baru memiliki perbedaan dibandingkan di KUHP saat ini. Dalam KUHP penjajah Belanda itu, Pasal Penghinaan Presiden merupakan delik biasa dengan ancaman 5 tahun penjara. Dalam KUHP baru, diubah, menjadi delik aduan dengan ancaman 4,5 tahun penjara.

Bila disahkan DPR pekan depan, maka potensi digugat ke MK akan besar. Lalu bagaimana sikap MK mengadili Pasal Penghinaan Presiden, apakah langsung menghapus seperti pada 2006, atau berubah sikap dan tetap mengesahkan dengan berbagai pertimbangan.

Untuk menebaknya, bisa dibaca Putusan MK soal penayangan quick count. Pada Pemilu 2014, 2009 dan 2014, quick count bisa langsung disiarkan. Namun dalam Pemilu 2019, MK berpikir sebaliknya yaitu hasil quick count bisa disiarkan dengan jeda, minimal pukul 15.00 WIB.

Loading...

Mengapa MK berubah pikiran?

Menurut MK, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. MK mencontohkan di Amerika Serikat yang telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi.

"Perubahan demikian dilakukan dalam rangka melindungi hak konstitusional warga negara," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam pertimbangannya.

MK mencontohkan kasus pemisahan sekolah warna berdasarkan warna kulit di AS. Pada 1896, MK Amerika Serikat menyatakan hal itu bukan diskriminasi atas dasar prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama).

Namun pendirian itu diubah pada 1954. Supreme Court memutuskan pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit bertentangan dengan konstitusi.

"Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan," papar Anwar.

Lalu bagaimana dengan Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP baru yang akan disahkan pekan depan? Akankah MK masih sependapat dengan Putusan 2006 atau berbalik 180 derajat?

(spiritriau.com) 






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]