Media Asing Soroti Kasus Intimidasi Jurnalis di Papua


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Tiga jurnalis dicegah meliput aksi protes mahasiswa di Jayapura, Papua, Senin 23 September lalu oleh pihak kepolisian. Peristiwa ini turut diberitakan oleh media asal Selandia baru, RNZ.

Tiga jurnalis yang tidak diperbolehkan meliput yaitu Beny Mawel (Jakarta Post), Ardi Bayage (Suara Papua), dan Hengky Yeimo (Tabloid Jubi). Tidak hanya dihalangi untuk meliput, mereka juga dilecehkan secara verbal oleh polisi sebelum akhirnya dibawa ke kantor polisi, RNZ mengabarkan pada Kamis (26/9).

Kerusuhan yang terjadi di Papua Senin lalu mengakibatkan satu anggota TNI mengalami luka tikam serius. Tiga pelajar Papua juga dikabarkan mati ditembak oleh pasukan keamanan.

Arnold Belau dari Forum Jurnalis Asli Papua mengatakan, tindakan polisi itu telah melanggar undang-undang pers karena bersifat diskriminatif.

Loading...

"Undang-undang menjamin wartawan untuk melakukan pekerjaan mereka. Bebas dari intimidasi dan pembatasan dari pihak mana pun," jelasnya, seprti yang dikutip oleh RNZ.

Arnold menambahkan, apa yang dialami tiga jurnalis di Papua itu menunjukkan rendahnya pemahaman polisi tentang tugas dan fungsi pers.

Dikabarkan, petugas kepolisian sempat meneriaki para jurnalis dengan kata-kata makian.

Arnold mendesak polisi untuk memberi jaminan kepada jurnalis, sehingga dapat menjalankan tugasnya tanpa ada tekanan dari pihak mana pun.

"Para pejabat di Papua harus mengubah perspektif mereka dan berhenti mencurigai para jurnalis di Papua, terutama jurnalis asli Papua yang terlalu sering menjadi korban dalam melakukan pekerjaan mereka," katanya.

Peristiwa ini juga disesalkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura. "AJI Jayapura sangat menyesalkan tindakan sewenang-wenang tersebut, apalagi itu dilakukan oleh petugas polisi yang merupakan pelindung rakyat," ungkap Pemimpin Redaksi Cenderawasih Pos Lucky Ireeuw, mewakili AJI Jayapura.

Menurutnya, tindakan polisi merupakan penghinaan kepada publik. Menghalangi jurnalis untuk meliput, sama artinya dengan memutus hak publik untuk mengetahui peristiwa yang terjadi.

"Jika wartawan diintimidasi, didiskriminasi, dan dihalangi oleh pekerjaan mereka, hak orang-orang untuk mendapatkan berita yang valid dan akurat akan terhambat," kata Lucky.

Lucky menjelaskan, Indonesia sebagai negara demokratis selayaknya menegakkan UU perlindungan jurnalis. Pasalnya, pers berperan sebagai "pilar keempat" yang mengimbangi sistem demokrasi.

"Apalagi yang disampaikan oleh wartawan, tentu saja, untuk kepentingan umum," imbuhnya.

Media Australia Syney Morning Herald, Rabu (25/9) mengabarkan, tercatat 33 orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Papua beberapa waktu terakhir. Sebanyak 29 korban tewas dalam kerusuhan di Wamena, dan empat lainnya di Jayapura. Sementara itu, puluhan orang dikabarkan terluka.

Angka berbeda dikabarkan RNZ, di mana jumlah warga tewas dikabarkan 20 orang.

Terburuk Dalam 20 tahun Terakhir

Victor Mambor, perwakilan Dewan Pers Indonesia mengatakan, wartawan tidak dapat mengonfirmasi langsung jumlah korban kepada kepolisian. Angka korban tewas dan luka-luka didapat dari hasil pantauan.

Victor menambahkan, wartawan asing dilarang berkunjung ke provinsi yang tengah bergejolak.

"Pengamatan saya adalah bahwa media asing menyajikan perspektif Papua dalam cerita mereka, ini berbeda dengan media Indonesia yang berbicara lebih banyak tentang perspektif Jakarta," katanya, seperti yang dikutip oleh Sydney Morning Herald.

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan, kericuhan di Papua tahun ini menjadi yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. ia pun menyerukan adanya penyelidikan independen segera mungkin.

Atas peristiwa ini, pemerintah memblokir akses internet di Wamena sejak Selasa. Akses internet di sejumlah wilayah sempat dipulihkan pada Rabu pagi.

30 Jenazah Sudah di Jayapura

?

Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, korban tewas akibat kericuhan yang mencuat dalam aksi demo anarkis di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 23 September 2019, bertambah menjadi 30 orang. Dari data sehari sebelumnya dilaporkan pihak polisi, korban tewas sebanyak 26 orang.

"Data terakhir ada 30 jenazah dan sebagian besar sudah dikirim ke Jayapura," kata Lukas di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Rabu (25/9).

Lukas mengatakan, aksi anarkis itu terjadi tiba-tiba tanpa diketahui pemerintah. Menurut dia, siswa-siswa pelaku anarkis dipaksa oleh kelompok tertentu.

"Kejadian tiba-tiba dan memaksa siswa-siswa, oleh kelompok yang kami tidak tahu dari mana tetapi mereka memaksa anak-anak sekolah yang masih ulangan untuk melakukan aksi kriminal," kata dia, seperti diberitakan Antara.

(spiritriau.com)






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]