DPP GMNI: Onimbus Law RUU CILAKA Cidrai Berdikari Bung Karno

Foto : Bung Pablo (IstL

Loading...

JAKARTA, Medialokal.co - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya menyebut istilah Omnibus Law pada pelantikannya 20 Oktober 2019 lalu yang akan menjadi program 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-Maaruf. Konsep Omnibus Law tersebut salah satunya Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU CILAKA).

Menyikapi Omnibus Law RUU Cilaka yang saat ini draftnya sudah beredar,  Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berpandangan seharusnya pemerintah  tidak membuat kebijakan yang cenderung berpihak pada kalangan pengusaha semata.

Keberpihakan  pemerintah  seharusnya  diprioritaskan kepada  masyarakat  kecil  yang  dimana  dalam  hal  ini  adalah  buruh/pekerja.

"Pemerintah terkesan lebih mengakomodir kepentingan pengusaha dalam meminimalisir cost produksi dan mengenyampingkan peranan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan  rakyat." tegas Riski Ananda Pablo ketua Bidang Kajian Perundang-undangan dan Advokasi Kebijakan DPP GMNI.

DPP GMNI juga menilai dengan adanya kebijakan ini berdampak  menghilangkan upah minimum dengan mengganti ke upah per jam.

"Ditambah lagi dengan dihilangkannya jaminan sosial yang menjadi hak pekerja dan juga  pemerintah  terkesan  menghilangkan  sanksi bagi pengusaha/korporasi," sambung Pablo sapaan akrabnya.

Selain  itu DPP GMNI  juga  tidak  sepakat  terhadap  beberapa  pasal  yang  tertuang dalam  draft RUU  Cipta  Lapangan  Kerja  yang  sudah  beredar.

Pertama, pada pasal yang menyebutkan bahwa penanaman modal dibuka untuk semua sektor di wilayah  Negara  Republik  Indonesia.

DPP  GMNI berpandangan  bahwa  seharusnya  tidak  semua  sektor  bisa  dimasuki  modal  swasta dan  modal  asing. 

"Berdasarkan  konsepsi  trisakti  Bung  Karno  dimana  salah  satunya  yaitu berdikari  dalam  bidang  ekonomi,  maka  kebijakan  omnibus  law  ini  sangat  bertentangan. Dimana  dengan  dibukanya  pintu  investasi swasta dan  asing  dengan sebesar-besarnya justru menunjukan ketidakmampuan  pemerintah  dalam  mengelola  segala  sumber  daya  dan menegaskan  bahwa  bangsa kita  ketergantungan dengan  asing." Jelas Pablo.

Yang  kedua,  pasal-pasal  yang  membuka  pintu  masuk  modal  asing  di sektor  vital  seperti Bandara  dan  Pelabuhan. Hal  ini  menggambarkan  bahwa  selama  ini  pemerintah  gagal mengelola  secara  mandiri  sektor-sektor  vital  yang  kita  miliki  sehingga  memerlukan  modal swasta  dan  modal  asing.  Suntikan  modal  swasta  dan  asing  di  sektor  vital  dalam  skema investasi  ini  bukan  tanpa  resiko.

"Negara  Sri  Langka  dan  Zambia  bisa  dijadikan  contoh  negara gagal  mengelola  investasi  dan pada  akhirnya  bandara  dan pelabuhan diambil  alih dan dikelola oleh  asing.  Oleh  karena  itu  segala  bentuk  investasi  swasta  dan  asing  pada  sektor-sektor  vital semestinya  sangat dibatasi oleh negara." terang mantan ketua cabang GMNI Pekanbaru tersebut.

Yang  ketiga,  pasal-pasal  yang  mengatur  soal  pesangon.  DPP  GMNI  mendesak  Besaran Pesangon  yang  didapatkan  para  pekerja/buruh  seharusnya  mempertimbangan  aspirasi  dari pihak pekerja/buruh itu sendiri. Tidak  hanya  memepertimbangkan  aspirasi pengusaha/korporasi. 

"Besaran  pesangon  yang  ditentukan  pemerintah  saat  ini  seharunsya  tidak diperbandingkan  dengan  Negara  maju  seperti  Uni  Eropa,  meskipun  pesangon  kita  lebih  tinggi dari  Uni  Eropa  namun  para  pekerja  disana  mendapatkan  unemployment  insurance,  jaminan sosial serta jaminan pensiun  yang  nominalnya  jauh lebih  besar dibanding  Indonesia."  

Yang  ke  empat,  DPP  GMNI  tidak  menemukan  pasal-pasal  yang  mengatur  secara  detail penyelesaian  sengketa  antara  pekerja/buruh  dengan  pihak  perusahaan.  Hal  ini  akan memperpanjang  daftar kasus-kasus sengketa  antara  pekerja/buruh  yang selama  ini   merugikan pekerja/buruh. 

"Selama  ini  Kasus  perburuhan  di  Indonesia  dari  tahun  ke  tahun  selalu meningkat  baik  yang  berkaitan  dengan  PHK,  perselisihan  hak  atas  upah  dan  pemberangusan serikat buruh. Hal ini semestinya  menjadi salah satu pertimbangan utama  sebelum  pemerintah membuat aturan-aturan hukum  yang  berkaitan dengan pekerja/buruh."

Atas  berbagai  pertimbangan  diatas  DPP  GMNI  mendesak  pemerintah  untuk  menarik    RUU Cipta  Lapangan  Kerja  karena  bertentangan  dengan  konsepsi  kebangsaan  dan  konstitusi  kita, serta  banyak  memuat  aturan  yang  berpotensi  merebut  hak-hak  pekerja/buruh. 

"DPP  GMNI  meminta  pemerintah  melibatkan  lebih  banyak  lagi  unsur-unsur  masyarakat  yang berdampak  langsung  dalam  proses  pembentukan  RUU  dan  melakukan  uji  publik  yang  masif sebelum  merampungkan  Omnibus  Law  Cipta  Lapangan Kerja," tutup Pablo. (*)


Laporan : Teguh 






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]