Loading...

MEDIALOKAL.CO - Di tengah kasak-kusuk Pemilu 2019, sua­sana awal tahun menda­dak heboh dengan keberhasilan Polda Jawa Timur memergoki sekaligus me­nangkap VA, AS dan R terkait kasus pros­titusi di Surabaya. Kendati prostitusi bu­kan masalah baru dalam catatan kri­minal Indonesia, namun peristiwa kali ini menjadi istimewa karena melibatkan figur publik.

VA dan AS dikenal sebagai artis dan pemain sinetron yang sering muncul di layar kaca. Apalagi, berita ini dibumbui de­ngan uang 80 juta rupiah untuk sekali ken­can. Angka yang cukup fantastis un­tuk ukuran Indonesia.

Tidak terlalu lama, Kepolisian me­ne­tapkan ES (37) dan TN (28) sebagai ter­sangka dalam kasus ini. ES dan TN di­anggap berperan men­datangkan VA dan AS serta menghubungkannya dengan R. Dalam perkembangan selanjutnya, VA dan AS dilepaskan dan dianggap se­ba­gai korban. Memang, hingga saat ini belum ada ketentuan perundang-un­dangan di tingkat nasional yang dapat men­jerat pelaku prostitusi. Ketentuan KU­HP hanya menjerat penyedia jasa atau sering disebut muncikari.

Pasal 296 KUHP menyatakan bahwa: "barangsiapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuat­an cabul dengan orang lain, diancam de­ngan pidana penjara paling lama satu ta­hun empat bulan atau pidana denda pa­ling banyak lima belas ribu rupiah." Pasal yang berhubungan dengan keten­tuan a quo adalah Pasal 506 KUHP yang me­nyatakan bahwa: "Barang siapa se­bagai muncikari (souteneur) me­ngam­bil keuntungan dari pelacuran perem­pu­an, diancam dengan pidana kurungan pa­ling lama satu tahun."

Loading...

Adapun pelaku zina hanya dapat dijerat dengan menggunakan Pasal 284 KUHP. Dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, apabila a) seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), pa­dahal diketahui bahwa pasal 27 BW ber­laku baginya, atau b) seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gen­dak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

Overspel atau gendak menurut Kamus Be­sar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan se­bagai perem­puan yang disukai (diajak ber­zina). Atau bisa juga dikatakan se­bagai perempuan simpanan. Dengan kata lain, perbuatan zina yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Tanpa ada pemaksaan satu sama lain.

Adapun syarat yang harus dipenuhi agar hubungan seorang pria laki-laki dan perempuan yang tidak sah dikatakan sebagai gendak adalah adanya hubungan seksual secara nyata antara laki-laki dan perempuan. Namun perlu diingat, tidak se­mua hubungan seksual tersebut dapat di­kenakan pidana perzinahan. Suatu hu­bungan seksual baru dikualifikasikan se­bagai tindak pidana perzinahan kalau sa­l­ah satu perempuan dan laki-laki atau ke­duanya sudah memiliki suami/isteri. De­ngan kata lain, sudah terikat dengan perkawinan yang sah.

Bukan hanya laki-laki atau perempuan yang sudah terikat dalam perkawinan yang sah itu yang dapat dipidana. Pa­sa­ngan atau selingkuhannya juga turut di­pi­dana. Karena ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP mengatakan bahwa a) se­orang pria yang turut serta melakukan per­buatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin, dan b) seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal di­ketahui olehnya bahwa yang turut ber­salah telah kawin dan pasal 27 BW ber­laku baginya.

Menurut pemberitaan, VA, AS dan R ter­nyata belum menikah. Dengan demi­kian, mereka tidak dapat dipidana baik menurut Pasal 296, Pasal 506 maupun Pasal 284 KUHP. Artinya dalam hal ini ter­dapat kekosongan hukum. Jika de­mi­kian, langkah apa yang harus di­la­kukan agar peristiwa-peristiwa mema­lu­kan seperti ini tidak terjadi lagi?

Sebagai negara beragama yang men­junjung tinggi moralitas, prostitusi harus menjadi musuh bersama. Pergaulan bebas dan semakin kaburnya batas-batas mo­ralitas seharusnya dapat ditangkal dengan ketetnuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya hingga saat ini, DPR dan Presiden belum juga membuat ketentuan untuk mengisi keko­songan hu­kum tersebut. Lahirnya UU Antipor­no­aksi dan Pornografi hanya menjerat penyebarluasan video atau gambar yang di­anggap tidak senonoh. Padahal, praktik pros­titusi yang terjadi secara diam-diam jauh lebih banyak.

Harusnya, sebagai bagian dari revolusi mental yang sudah digaungkan pemerin­tahan Jokowi sejak 2014 lalu, pengisian ke­ko­songan hukum untuk menjerat pe­laku prostitusi harus menjadi prioritas dalam Prolegnas.

DPR dan Presiden harusnya merespon de­ngan baik apresiasi yang sudah diberikan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review pasal-pasal perzinahan dalam Putusan Nomor 132/PUU-III/2015 agar yang dijerat hukum bukan hanya muncikari, tetapi juga pelaku zina. MK me­mang menolak gugatan tersebut, na­mun alasannya bukan karena pengisian keosongan hukum pasal perzinahan tidak penting. Permohonan tersebut ditolak karena MK merupakan negative le­gis­lator yang hanya dapat membatalkan suatu keten­tuan UU, bukan positive legislator yang menjadi pembuat kebijakan hukum pidana.

Masa Depan Pengaturan Prostitusi

Dalam sejarah dunia, perbuatan zina ada­lah dosa besar. Perbuatan zina di­anggap sama dengan menentang perintah raja maupun penghianatan terhadap ne­gara. Pada masa Romawi saja, pezina di­hukum bakar hidup-hidup, sedangkan da­lam sejarah Islam, pezina dihukum rajam. Hukum adat Batak juga mencatat bah­wa setiap pelaku zina, baik yang su­dah terikat pernikahan atau belum, hu­kumannya sangat berat. Jika tidak di­buang, maka pelakunya bisa saja di­tenggelamkan.

Lalu mengapa dalam KUHP kita justru tidak mengatur secara tidak lengkap perbuatan zina ataupun prostitusi? Romly Atmasasmita (Sindo/2010) menja­wab bah­wa hal ini terjadi karena sistem hukum pidana Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari peradaban Barat yang telah sejak berabad-abad lamanya menganut paham individualistik. Moralitas yang diunggulkan adalah moralitas individual, bukan moralitas masyarakat.

Dengan kata lain, KUHP yang di­gu­nakan sampai saat ini melandaskan segala atu­rannya terhadap moralitas individual, bukan moralitas sosial apalagi moralitas Pancasila. Sepanjang perbuatan tersebut tidak merugikan siapapun, maka tidak bisa dipidana. Jika kita masih meng­ang­gap bahwa perilaku AS, VA dan R tidak me­rugikan siapapun, maka selama itu akan terjadi kekosongan hukum. Jika di­biarkan, dampaknya sangat serius. Pe­rilaku amoral seperti ini akan dianggap se­bagai perbuatan biasa, normal dan wajar. Apalagi ketika muncul sebutan bah­wa pelaku justru sebagai korban. Pa­dahal, dalam kasus ini tidak melibatkan salah satu pihak yang lemah seperti anak di bawah umur ataupun perdagangan orang. Seyogyanya, AS, VA dan R sangat tidak layak dikatakan sebagai korban.

Oleh karena itu, peristiwa ini harus dija­dikan momentum oleh pembentuk UU ke depan. Prostitusi dalam bentuk apa­pun harus mendapat ganjaran. Me­ngutip Rosque Pound, hukum adalah alat rekayasa sosial (law is a tools of social engineering). Hukum yang baik seharus­nya mampu merekayasa masyarakat me­nuju kebiasaan yang lebih baik. ***

Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.

Sumber:analisadaily.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]