Loading...

MEDIALOKAL.CO - Beberapa waktu lalu, Direktur Keuangan Angkasa Pura II Andra Y Agussalam diamankan oleh KPK dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Walaupun harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kita yakin bahwa KPK melakukan OTT dengan dasar bukti permulaan yang kuat. Andra diduga terkena OTT terkait dengan proyek Baggage Handling System yang dikerjakan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). Agus disangka Pasal 12 a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sebagaimana berita Harian Analisa (2/8/19), Direktur Keuangan AP II yang terkena OTT KPK pernah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK pada 31 Juli 2018 atas harta kekayaannya pada 2017 dengan jabatan sebagai Direktur Keuangan PT AP II berupa tanah dan bangunan senilai Rp20,893 miliar yang tersebar di Jakarta Selatan, Jakarta Barat dan Bogor dan sejumlah harta bergerak lainnya. Jika melansir berita sejumlah Media, Gaji Direksi BUMN rata-rata diatas Rp.100 juta dan bahkan diatas RP.200 Juta. Gaji tersebut diluar fasilitas, tunjangan, insentif, dan bahkan bonus atas laba. Maka sudah sepantasnya gaji dan fasilitas fantastis sebesar itu sangat cukup untuk sekelas Direksi BUMN. Namun, Fakta berkata lain Tindak Pidana Korupsi di BUMN merajarela dari tingkat Direksi hingga level staff biasa, sehingga Korupsi yang menjerat Direktur keuangan AP II bukan yang pertama dikalangan Direksi BUMN. 

Kasus korupsi sebelumnya juga sudah menjerat beberapa Direksi dan Pimpinan BUMN, antara lain Wisnu Kuncoro Eks Direktur Teknologi & produksi PT Krakatau Steel sebesar Rp. 24 M, Budi Tjahjono Eks Direktur Utama PT. Asuransi Jasindo sebesar Rp. 3 M dengaan Kasus Korupsi Agen Asuransi Fiktif, Yuly Ariandi Siregar Eks Kepala Bagian Keuangan & RisikoDivisi II PT Waskita Karya periode 2010-2014 dengan kasus Korupsi Anggaran Infrastruktur Fiktif perusahaan subkon dengan taksiran kerugian negara Rp. 186 Miliar. RJ Lino Eks Direktur Utama PT Pelindo II dengan kasus korupsi pengadaan Crane dan tafsiran kerugian negara Rp.60 miliar, dan beberapa kasus korupsi lainnya yang menjerat Direksi maupun Pimpinan BUMN. 

Kerugian Negara 

Loading...

Perihal masuknya BUMN dalam ranah Tindak Pidana Korupsi pada awalnya sempat menjadi Pro Kontra. Pro Kontra dimaksud apakah kekayaan negara yang berupa saham pada BUMN dapat digolongkan kepada kerugian Negara atau tidak. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ("UU BUMN"), menentukan " Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan".

Selanjutnya, Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya "Pokok-Pokok Hukum Perdata" hal. 21 menjelaskan, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Artinya BUMN yang juga diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan memiliki kekayaan tersendiri terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan didalam Badan Hukum tersebut. 

Namun berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara  Pasal 2 huruf menentukan : "kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;" yang artinya berdasarkan ketentuan UU Keuangan Negara, kekayaan BUMN termasuk kedalam kekayaan negara dan kerugian didalamnya juga adalah kerugian Negara.

Kembali lagi kepada sejumlah OTT yang menjerat sejumlah Direksi dan pimpinan BUMN, bahwa cenderung perbuatan yang dilakukan adalah Pasal 11 atau Pasal 12 UU Tipikor perihal Gratifikasi yang berujung pada kerugian Negara, Gratifikasi akan merusak tatanan pekerjaan ataupun sistem yang seharusnya berjalan sebagaimana mestinya. Artinya Perdebatan atas Kerugian Negara dan penerapan UU Tipikor pada BUMN tidak menjadi alasan untuk proses penegakan hukum khususnya Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Carl. J. Friesrich titik berat rumusan korupsi adalah pada kepentingan umum, bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. 

Kesimpulannya, walaupun masih terdapat pro kontra apakah BUMN masuk atau tidak keranah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, karena pemerintah hanya sebatas pemilik saham, namun faktanya sejumlah proses penegakan hukum tindak pidana korupsi atas tindak pidana korupsi di BUMN telah memperoleh putusan berkekuatan Hukum Tetap. Artinya Proses Pemidanaan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi di Sejumlah BUMN telah memiliki dasar hukum yang kuat. Kesalahan sebagai unsur tindak pidana adalah kesalahan yang bersifat subjektif atau merupakan unsur subjektif dari tindak pidana, yaitu menilai tentang psychis pembuat dengan perbuatan yang dilakukan oleh Pembuat. Kembali mengingat adagium Lord acton, "Power tends to corrupt and the absolutely power tends to corrupt absolutely" yang maknanya tabiat kekuasaan yang cenderung menyalah gunakan kekuasaan yang dipunyainya dan kekuasaan yang absolut cenderung menyalah gunakan kekuasaannya secara absolut pula. 

Peningkatan Pengawasan 

Dengan marakya tindak Pidana korupsi pada perusahaan BUMN, menggambarkan peranan pengawasan internal BUMN itu sendiri masih lemah. Baik Satuan Pengawasan Inernal ataupun Satuan Audit Internal yang ada pada BUMN. Wajar saja pengawasan terhadap Bisnis BUMN lemah karena Pengawasan Internal akan memberi laporan kepada Direksi juga. Memang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Audit Eksternal juga melakukan Audit terhadap masing-masing BUMN tapi dirasa tidak maksimal, mengingat Banyaknya jumalh BUMN dan unit bisnisnya di Indonesia. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Dalam hal tindak Pidana korupsi yang melibatkan BUMN juga terlihat fungsi Dewan komisaris tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. 

Nothing is an offence which is done by a person who at the time of doing it, is incapable of knowing the nature of the act or that he is doing either wrong or contrary to law (Moeljatno : 2015).

Berkaitan antara Korupsi dan BUMN, bahwa tindak pidana korupsi tetap menjerat segala sesuatu yang bersumber dan merugikan keuangan Negara. Dengan catatan sejumlah Tindak Pidana Korupsi yang menjerat BUMN, maka sudah sepatutnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meingkatkan pengawasan dan pemeriksaan kepada BUMN khususnya unit-unit bisnis BUMN secara menyeluruh. 

Selanjutnya KPK, Polri dan Kejaksaan khususnya yang berada di daerah yang tentunya memiliki wewenang untuk memproses penyidikan tindak pidana korupsi sudah sepantasnya lebih gesit melakukan upaya-upaya pencegahan dan penindakan terhadap BUMN yang ada. 

Karena pengawasan internal BUMN sendiri tidak menjadi solusi dan jaminan bahwa BUMN bersih, maka pencegahan dan penindakan oleh penegakan hukum lah yang mungkin menjadi harapan masyarakat. Catatan Terakhir, Penerapan asas pembuktian terbalik atas penyitaan harta dan penerapan hukuman mati secara menyeluruh bagi para koruptor mungkin akan menjadi solusi besar pemberantasan korupi bagi bangsa ini. Salam…***

Penulis adalah, dosen FHSIP, UPBJJ- Universitas Terbuka Medan.

sumber:http://harian.analisadaily.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]