Bungkamnya Negara-Negara Islam atas Penindasan Muslim Uighur di China


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dikritik karena tetap bungkam atas penindasan yang dialami Muslim Uighur di kamp-kamp yang diklaim China sebagai tempat pelatihan kejuruan. Dalam beberapa pekan terakhir, kondisi sesungguhnya dari kamp tersebut terungkap ke publik. Kritik tersebut disampaikan Kepala Institut Uighur Eropa di Paris, Dilnur Reyhan dalam surat yang diterbitkan oleh koran mingguan Prancis L'Obs pada bulan Mei.

Pada November ini, Dilnur Reyhan mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prancis, Emmanuel Macron saat Macron melakukan lawatan ke Beijing. Surat ini ditulis bersama dengan esais Raphaël Glucksmann yang diterbitkan koran kelompok sayap kiri Prancis, Libération.

"Kejahatan besar terus didiamkan," tegasnya.

"Warga Uighur telah terjatuh ke dalam lubang hitam - lubang hitam yang legal di China," tegasnya, dilansir dari laman France 24, Kamis (28/11).

Loading...

'Pencapaian Hebat Bidang HAM

Setelah publikasi bocoran dokumen resmi kepada The New York Times dan Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICJI) mengungkap kebijakan sistematis China di Xinjiang, negara-negara Islam menjauhkan dukungannya untuk Uighur.

Di PBB, ada yang membela dan mengkriti tindakan China di Xinjiang. Pada akhir Oktober lalu, 23 negara termasuk Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat menyuarakan penindasan China atas masyarakat Uighur di Komite PBB untuk Hubungan Sosial, Kemanusiaan, dan Kebudayaan. Namun Beijing mendapat dukungan dari 54 negara, yang memuji pemerintahan Partai Komunis di Xinjiang.

Hal yang sama terjadi pada Juli: 22 negara meminta China menghentikan penahanan yang sewenang-wenang di Xinjiang. Kemudian 37 negara membela Beijing, memuji pencapaian hebat China dalam bidang HAM. Di antara mereka ada 14 anggota OKI termasuk Arab Saudi, Mesir, Pakistan, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Aljazair.

Tahun 2017, respons OKI sangat berbeda atas operasi militer Myanmar terhadap masyarakat Rohingya. Banyak negara Islam, termasuk Arab Saudi, Iran, dan Turki, membela kelompok minoritas di Myanmar tersebut. Di Dewan HAM PBB di Jenewa, negara OKI juga aktif mengecam perlakuan militer Myanmar terhadap masyarakat Rohingya.

Sedikit Solidaritas

Pernyataan terakhir OKI atas nasib masyarakat Uighur disampaikan dalam sebuah komunike tahun 2015, dimana 57 negara anggota Muslim mempertanyakan apakah masyarakat Uighur bisa melaksanakan Ramadan atau tidak.

"Ada sedikit solidaritas dibandingkan kasus Palestina dan Rohingya," kata Direktur Pemantau HAM China, Sophie Richardson.

"China telah mengatur bagaimana mendapatkan dukungan negara-negara ini karena mereka butuh investasi China," lanjutnya.

Pada Februari lalu, Arab Saudi menyatakan hormatnya untuk Presiden China, Xi Jinping sebelum menandatangani kontrak perdagangan utama. Mesir, yang ingin Beijing membiayai proyek infrastrukturnya, melangkah lebih jauh karena mengizinkan polisi China mendatangani dan menginterogasi orang Uighur yang melarikan diri di wilayahnya pada 2017. Bahkan Pakistan, yang lantang membela Rohingya, bungkam atas penindasan terhadap masyarakat Uighur karena proyek Chinese Belt and Road Initiative di negaranya. 

Turki sejak lama adalah pengecualian dalam hal ini. Ankara mengutuk penahanan Uighur dan menyebutnya penghinaan terhadap kemanusiaan. Namun kemudian pemerintah Erdogan berbalik arah: fokus pembicaraan dagang dengan Beijing, Presiden Turki menahan diri dari menandatangani 22 surat negara yang mengecam penindasan di Xinjiang.

"Ada banyak simpati untuk masyarakat Uighur di Turki, tapi kenyataannya Erdogan butuh China sebagai sekutu karena alasan ekonomi dan untuk menangkal tekanan diplomatik Barat pada masalah-masalah seperti Suriah," kata pakar politik China dari Universitas Bordeaux-Montaigne, Rémi Castets.

Dalih Melawan Terorisme

Pada 2014, Beijing meluncurkan kampanye pemberantasan kekerasan terorisme, membenarkan kebijakannya yang keras di Xinjiang sebagai langkah yang diperlukan dalam perang melawan ekstremisme Islam. Dalam pertemuan Komite PBB, surat yang ditandatangani negara OKI memuji program kontra terorisme dan deradikalisasi Beijing di Xinjiang. 

Penangkapan orang-orang Uighur dalam jaringan-jaringan Taliban selama perang di Afghanistan, penahanan mereka di Guantanamo, dan kehadiran nyata kelompok Uighur yang berafiliasi dengan Al Qaidah di Suriah, dinilai menjadi pemicu kebijakan keras China melawan terorisme di Xinjiang. Namun para pegiat HAM menuding ini sebagai dalih kampanye Partai Komunis China untuk menaklukkan Uighur.

"Menggunakan terorisme untuk membenarkan penindasan adalah teknik klasik rezim otoriter," kata Direktur Pemantau HAM Prancis, Bénédicte Jeannerod.

"Kehadiran Uighur dalam kelompok ekstremis tidak membenarkan penindasan sistematis dan sewenang-wenang lebih dari 1 juta Uighur, digolongkan sebagai tersangka hanya karena etnis dan agama mereka," pungkasnya.

sumber : merdeka.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]