Pemerintah Harus Dorong Industri dan Kemitraan Nyata Lewat Penyerapan Produk Setengah Jadi Rakyat


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Keberadaan PT Pulau Sambu (Sambu Group) di Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, yang kini telah berusia 58 tahun, tentu bukan hanya sekadar catatan perjalanan sebuah perusahaan besar. Dalam hampir enam dekade itu, Sambu Group sudah menjadi bagian penting—bahkan bisa dibilang urat nadi—dari denyut ekonomi perkelapaan di Inhil. Apalagi dengan statusnya sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas), perannya bukan saja penting bagi daerah, tetapi juga bagi kepentingan nasional.

Namun, di usia yang semakin matang ini, saya melihat sudah saatnya hubungan antara Sambu Group dan masyarakat petani kelapa Inhil tidak lagi berjalan seperti pola lama. Sudah waktunya kemitraan itu naik kelas, menjadi lebih adil, lebih berdaya, dan lebih memberi nilai tambah bagi masyarakat akar rumput.

Selama ini, skema yang berjalan masih didominasi pembelian kelapa bulat. Petani bekerja keras di kebun, lalu hasilnya dijual apa adanya sebagai bahan mentah. Sementara seluruh nilai tambah terbesar baru muncul setelah masuk ke dalam sistem industri besar. Pola seperti ini membuat petani selalu berada di posisi lemah dan rentan terhadap fluktuasi harga.

Di sinilah menurut saya peran pemerintah pusat menjadi sangat penting. Momentum 58 tahun Sambu Group seharusnya dijadikan titik balik. Pemerintah perlu mendorong, bahkan bila perlu mewajibkan, agar Sambu Group mulai memprioritaskan penyerapan produk setengah jadi dari petani dan UMKM—seperti kopra atau bentuk olahan dasar lainnya—bukan lagi hanya kelapa bulat.

Loading...

Selama ini, hilirisasi sering dipahami sebatas aktivitas pengolahan di dalam pagar pabrik besar. Padahal, hilirisasi yang adil seharusnya dimulai dari kebun warga, dari desa, dari koperasi, dari unit-unit kecil milik rakyat. Kalau setelah hampir enam dekade petani masih berhenti di tahap menjual bahan mentah, maka yang menikmati nilai tambah terbesar akan terus itu-itu saja.

Jika skema ini diubah, saya yakin dampaknya akan sangat terasa.

Pertama, harga di tingkat petani akan lebih stabil dan lebih tinggi karena mereka tidak lagi menjual komoditas mentah, melainkan produk setengah jadi.

Kedua, akan terjadi penciptaan lapangan kerja baru di desa-desa. Unit pengolahan kecil akan tumbuh, anak-anak muda desa bisa bekerja, roda ekonomi lokal pun berputar lebih cepat.

Sebagai perusahaan berstatus Obvitnas, Sambu Group sejatinya tidak hanya memikul tanggung jawab bisnis, tetapi juga tanggung jawab sosial dan kebangsaan. Karena itu, pemerintah—khususnya Kementerian Perindustrian dan kementerian terkait—tidak boleh ragu untuk hadir lewat regulasi yang tegas.

Misalnya dengan menetapkan persentase minimal penyerapan bahan baku setengah jadi dari UMKM dan koperasi petani oleh industri besar.

Regulasi seperti ini bukan untuk mematikan industri, justru untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan berkelanjutan. Korporasi tetap tumbuh, petani pun ikut berdaulat.

Kabupaten Indragiri Hilir selama ini dikenal sebagai “Negeri Hamparan Kelapa Dunia.” Tapi julukan itu akan terasa hampa jika masyarakatnya hanya menjadi pemasok bahan mentah tanpa kuasa atas nilai tambah. Kedaulatan sejati bukan sekadar memiliki kebun kelapa terluas, melainkan memiliki kendali atas hasil olahan dan kesejahteraannya.

Bagi saya, transformasi kemitraan Sambu Group—dari sekadar pembeli kelapa bulat menjadi penyerap produk setengah jadi rakyat—adalah langkah paling nyata untuk mewujudkan hilirisasi yang adil. Setelah 58 tahun, inilah warisan terbaik yang seharusnya ditinggalkan Sambu Group bagi masyarakat Indragiri Hilir:

bukan hanya industri yang besar, tetapi rakyat yang benar-benar berdaulat. (*)

Penulis : Fitrawir Armadani, S.Si

Sekjen IPSS Kabupaten Indragiri Hilir






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]