Hegemoni Pendidikan dan Pendidikan yang Membebaskan


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Menurut rumusan Antonio Gra­maci, hegemoni diarti­kan sebagai sebu­ah upaya pihak elit penguasa yang mendo­minasi untuk meng­giring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai dengan kehendaknya. Hegemoni bisa berlangsung secara halus, tanpa terasa, tetapi masyarakat secara suka­rela mengikuti dan menja­laninya. Secara sempit, hegemoni selalu bi­cara pengaruh kepe­mimpinan, dominasi dan kekua­saan. Teori hegemoni tidak saja diterapkan dalam sebuah bentuk kekuasaan negara tetapi pendidikan di dalam­nya. Teo­ri ini menjelaskan bagaimana ma­syarakat sosial bisa rela dan puas ter­hadap pendidikan yang ada, bukan pendidikan yang berdiri karena murni oleh kepen­tingan masyara­katnya tetapi oleh kepentingan luar yang lebih ekono­mik dan politik. Dalam dunia pendidikan, hegemoni justru dilancarkan secara sistematis dan cerdas.

Pada masa Orde Baru (Orba) jelas sekali hegemoni ini sangat terasa dan dilancarkan sekian lama­nya. Ketika itu, ada pelembagaan Pedoman Penghayatan dan Penga­malan Pancasila (P4) yang diberikan secara wajib kepada peserta didik pada setiap jenjang pendidikan, selain juga kepada instansi-instansi tertentu. Pelembagaan seperti P4 inilah yang kemudian melakukan 'penertiban' cara berpikir masya­rakat agar bersifat Pancasilais. Maka, adalah sebuah kewa­jaran bila pada masa itu masyarakat kita akan memandang sinis pada orang-orang (aktivis) yang berusaha kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak on the track. Akibat adanya hegemoni pemerintah inilah pada akhirnya para aktivis itu dituding sebagai 'pemberontak'.

Setali tiga uang, kebiasaan-kebiasaan mencontek, ker­jasama dengan teman, atau bahkan bertanya pada guru pengawas ketika ujian adalah dipandang wajar dan legal ke­tika tujuan menimba ilmu di sekolah atau lembaga pendi­dikan adalah hanya soal nilai, nilai yang dianggap adalah segala-galanya. Lihatlah hiruk pikuk kekinian ketika para siswa SMP dan SMU tengah menghadapi Ujian Nasional (UN). Segala cara curang pun pada akhir­nya harus dilakukan demi mencapai tingkat kelulusan yang tinggi, dan segalanya telah menge­sampingkan nilai-nilai kejujuran yang se­sungguhnya adalah tujuan paling mulia dari penyelenggaraan pendi­dikan nasional kita.

Betapa hegemoni pendidikan yang 'mengancam' para siswa yang ikut UN dengan standar nilai yang harus dicapai jika ingin dinyatakan lulus dari 3 tahun masa pendidikan yang ditempuhnya. Belum lagi oleh dinas pendidikan setem­pat, pihak penyelenggara pendidikan (seko­lah) ditargetkan harus mampu melu­luskan seluruh muridnya apabila ingin mempertahankan atau me­ning­katkan status sekolah seba­gai penyelenggara pendidikan terbaik dan terfavorit dalam suatu cakupan wilayah. Begitulah hegemoni telah mendarah da­ging sejak lama dan amatlah sulit untuk dikikis habis karena sudah menjadi tradisi dan kewajaran yang diterima oleh ma­syarakat dan didukung oleh orang tua peserta didik. Sebab, semua tujuan akhirnya adalah nilai yang bagus dan capaian kelulusan seratus persen.

Loading...

Ancaman hegemoni dalam dunia pendidikan kita juga sesungguhnya datang dari hegemoni neolibe­ralisme. Neoli­beralisme menampil­kan wajah hegemoniknya lewat si­mulacra (pembangunan citra, image) yang dikemas dalam bentuk iklan-iklan, icon (lambang), merek, terma­suk secara sistemik memba­ngun ke­kuatan antar negara/kawa­san da­lam perekonomian liberal. Kesada­ran-kesadaran yang dibius­kan oleh hegemoni neoliberalisme kepada masyarakat, sering tidak disadari. Masyarakat mengikuti saja bahwa yang dika­takan cantik itu adalah sosok perempuan yang berkulit putih, langsing, berambut panjang dan berwajah bersih bak porselen.

Pendidikan yang Membebaskan

Dalam perspektif Freirian, pendi­dikan adalah alat pe­nguasa untuk melanggengkan kekuasaan­nya. Akibatnya, reka­yasa sejarah, pemu­tar balikan fakta, pembodohan-pem­bo­dohan, dan pemandulan sikap kritis, menjadi hal biasa dilakukan oleh penguasa dalam konteks politik pendidikan. Pendidikan sebagai institusi sosial dipakai sebagai alat pe­net­rasi pemikiran, nilai-nilai dan cara berpikir pihak penguasa terha­dap rakyatnya. Hal itu dilaku­kan agar terdapat legitimasi dari rakyat terhadap kekuasaan yang dijalankan tanpa ada proses, sebab pola pikir masyarakat sudah dibentuk dengan 'selera' penguasa. Dari perspektif ini, hampir bisa disimpulkan bahwa pendidikan bukanlah sebuah faktor tunggal yang bebas nilai, melainkan rangkaian dari lembaga-lembaga sosial yang disetir oleh kepentingan tertentu.

Dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata ditempuh oleh masyarakat kita, katakanlah 12 tahun (SD-SLTA) atau 17 tahun (jika dihitung masa tempuh rata-rata lulusan S1), menunjukkan betapa lamanya jenjang pendidikan. Dengan waktu yang cukup lama ini, sektor pendidikan menjadi stra­tegis untuk dijadikan ladang indoktrinasi, hegemoni, juga pen­cip­taan kesadaran-kesadaran palsu. Ladang pendidikan ini bertambah subur lagi dengan rezim positivis­tik yang telah menelusuk ke dalam sanubari masyarakat du­nia terma­suk Indonesia bahwa ilmu itu netral, dunia pendidikan itu netral, tidak terkait dengan kepen­tingan po­litik, ekonomi, bebas kepentingan dan bebas nilai. Kesa­daran seperti ini membawa pengaruh terhadap sema­kin mudahnya kebijakan-kebi­jakan penguasa dalam pendidikan disepa­kati dan mudahnya melaku­kan intervensi dunia pen­didikan karena dianggap tetap steril.

Dalam dunia pendidikan kita, neoliberalisme melancar­kan hege­moni dengan melakukan kapitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan dija­dikan sebagai barang dagangan, tanpa melihat lagi misi pendidikan yang manusiawi. Implikasi dari se­kian lamanya neoliberalisme meng­hegemoni dunia pendidikan kita, dengan gampang ditemukan lewat kesa­daran palsu, yaitu bahwa kesuksesan dan derajat kemuliaan seseorang diukur dari kuliah, lulus secepatnya dengan nilai tinggi, kerja pada tempat yang paling banyak menghasilkan uang, atau bisa men­capai taraf ekonomi lebih dari­pada yang lainnya. Sebagai implikasinya, masyarakat pun cenderung menilai orang dari mobil yang dipakai, se­berapa besar dan mentereng ru­mahnya, dan lain-lain. Jiwa dan sikap intelek­tualitas, suka mengkaji suatu fenomena, memiliki rasa keingintahuan, dan naluri pendidi­kan yang tinggi, memegang prinsip kebenaran ilmiah, dan rasa keadilan, justru meru­pakan musuh bagi neoliberalisme.

Begitulah hegemoni. Maka, bagi kaum yang mengingin­kan sebentuk perubahan progresif, harus melaku­kan counter hegemoni. Lemahnya bangsa Indonesia dalam merumus­kan filosofi dan konsep pendidikan serta praktek pendidikan yang ambu­radul, membuka celah yang sangat lebar kepada hegemoni neoli­beralisme. Filosofi pendidikan pem­bebasan sampai saat ini masih me­rupakan filosofi yang dapat dipakai untuk melakukan counter hegemoni penguasa maupun kaum neolibera­lisme. Pendidikan pembe­basan pada hakekatnya memandang manusia sebagai manusia, dan bu­kan sebagai objek yang dapat diper­lakukan dan dimanfaatkan seenak­nya oleh penguasa.

Pendidikan yang membebaskan melihat keadaan ling­kungannya dan rakyatnya, karena pendidikan pem­bebasan tidak mengalienasi (menga­singkan) peserta didiknya dari reali­tas lingkungannya. Demo­krasi me­ru­pa­kan ruh dalam pendi­dikan pem­bebasan, sehingga dalam meto­de dan praktek pengajarannya pun tetap partisipatif dan dialogis. Pen­didikan pembebasan akan me­ne­mui hasil apabila hegemoni itu sendiri dapat ditumbangkan, yakni dengan me­ngi­si konsep pedagogis yang mem­berikan pembebasan berpikir yang baru.

Di sinilah kita perlu memperbin­cang­kan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan, yang tidak menilai kemam­puan peserta didik dari sekadar angka-angka nilai prestasi ujian teoritis belaka. Kurikulum pendidikan yang mem­bebaskan peserta didiknya dari buku-buku teks tebal yang isinya harus dihapalkan dengan meng­indahkan proses pem­belajaran sesungguhnya dalam lingkungan masyarakatnya. Sudah saatnya hegemoni pendidikan itu ditak­lukkan dengan membuat kurikulum baru yang betul-betul menghu­bungkan peserta didiknya untuk memahami realitas sosial keseha­riannya tanpa dibebani dogmatisasi berbagai ilmu yang sesungguhnya sulit diterapkannya di kehidupan nyata.

Mau tidak mau, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang tidak membuat beban para peserta didik menjadi berat, melain­kan membuat pendidikan itu adalah sesuatu yang menyenangkan, meng­gairahkan dan tanpa beban target nilai tertentu, seperti yang dicon­tohkan beberapa sekolah pendidikan alam yang mulai menjamur di Tanah Air. Jadi, kekakuan pendidikan yang terpenjara di dalam gedung-gedung mentereng itu memang sudah saatnya dihapuskan dan dikem­balikan ke alam bebas yang sesung­guhnya menjadi tempat mereka akan kembali. ***

ottom:.0001pt;text-align: justify;text-indent:11.35pt;line-height:9.6pt;mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none'>Jika tak mau dan tak mam­pu bergerak, apalagi kreatif dan inovatif, alih-alih berharap pada sebuah peru­bahan, jangan-jangan penge­lo­laan dana BOS yang ada bisa diperlakukan seakan memang dana bos di sekolah itu. Marilah, membangun sekolah!***

* Penulis Kasi Kurikulum dan Penilaian SMP Disdik Kota Medan

Sumber:http://harian.analisadaily.com






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]