Hmm, Ternyata Ini Alasan MPR Ngebet Mengamendemen UUD


Loading...

MEDIALOKAL.CO - Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Ali Taher Parasong mengatakan, sudah hampir tidak mungkin melakukan amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 di periode 2014-2019.

Menurut Ali, selain persoalan waktu karena masa jabatan akan berakhir, tidak ada isu menarik untuk dibahas. Ali berpandangan yang paling menarik di antara sekian masalah atau topik untuk dibahas dalam amendemen UUD NRI 1945 adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan penguatan kewenangan MPR.

"Menurut saya, amendemen terbatas ini adalah terbatas pada posisi perlu atau tidak GBHN, dan perlu atau tidak MPR menjadi lembaga tertinggi negara," katanya dalam diskusi Empat Pilar MPR bertajuk "Rekomendasi Amendemen (Konstitusi) Terbatas untuk Haluan Negara?" di gedung parlemen, Jakarta, Senin (29/7).

Menurut dia, hampir seluruh proses dan strategi pembangunan di sektor apa pun tidak berjalan secara terstruktur, sistematis dan masif. Dia mencontohkan, ketika melakukan pembangunan infrastruktur sekarang ini, persoalan kemiskinan tidak banyak disentuh.

Loading...

Ali menambahkan, angka kemiskinan sekarang ini 9,82 persen, atau angka komulatifnya 26 juta hingga 27 juta dari 270 juta penduduk. "Kemiskinan kita juga tidak beranjak turun, sementara pembangunan infrastruktur tidak banyak rakyat juga menikmati," ungkap ketua Komisi VIII DPR itu.

Menurut Ali, hal ini salah satu penyebabnya adalah karena tidak adanya GBHN. Hal itu memungkinkan pemerintah atau presiden terpilih menjalankan apa saja berdasarkan janji-janji yang telah ada, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan lewat para menterinya.

"Ada kebijakan presiden misalnya nawacita kemudian diterjemahkan oleh masing-masing menteri dan kemudian itu dijalankan," ujar ketua DPP PAN ini.

Nah, Ali menegaskan, terlepas setuju atau tidak, pola GBHN yang pernah ada di era Orde Baru memberikan warna lebih terukur dalam soal mengatur strategi pembangunan.

"Waktu itu pernah dikenal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur diatur sedemikian rupa sehingga anggaran proporsional dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan zamannya," katanya.

Namun, ujar dia mencontohkan, sekarang ini ketika infrastruktur didongkrak, sektor pertanian masih kerap melakukan impor seperti garam dan berbagai macam bidang lainnya. "Dulu petani dengan bangga menyekolahkan anak ke mana-mana, tetapi sekarang ini tidak bisa," paparnya.

Karena itu, Ali berpandangan kalau dilakukan amendemen UUD NRI 1945, maka yang paling penting adalah mengembalikan fungsi GBHN dalam konstitusi. "Itu yang menurut saya jauh lebih penting," katanya.

Selain itu, lanjut Ali, yang tidak kalah penting adalah perlu atau tidaknya MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Sekarang, kata dia, kewenangan MPR seimbang dengan lembaga lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).

"Coba bayangkan, baru kali ini yang namanya sidang paripurna MPR setiap tanggal 16 Agustus itu, MPR mengadakan sidang sendiri, DPD sendiri, DPR sendiri," katanya.

Menurut dia, hal ini terjadi karena posisi MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, tetapi hanya lembaga tinggi negara. Karena itu, ujar dia, kewenangan formal MPR tidak lebih dari sekadar melantik presiden

Nah, Ali menyatakan, cara merumuskan perubahan UUD NRI 1945 kembali lagi kepada konfigurasi politik yang berjalan. Menurut dia, kalau pemenang pemilu seperti PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra sepakat, maka perubahan UUD akan terjadi.

"Pertanyaannya, partai pemenang ini mau atau tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat yang berjalan, itu dulu yang kita kaji," katanya. "Kalau tidak, maka berat," tambahnya. (*)


sumber : jpnn.com
https://m.jpnn.com/news/hmm-ternyata-ini-alasan-mpr-ngebet-mengamandemen-uud






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]