Bedah Buku Puisi 'Sayap Rindu' Karya DM Ningsih: Dendam atau Rindu?, Yuk Lihat

Bedah buku “Sayap Rindu” karya DM. Ningsih, Ahad (18/10/2020) di Dapur Salmah (ist) 

Loading...

PEKANBARU, Medialokal.co - Salmah Creative Writing (SCW) gelar bedah buku “Sayap Rindu” karya DM. Ningsih, Ahad (18/10/2020) di Dapur Salmah, Jalan Arifin Ahmad, Pekanbaru.

Qori Islami, S.S., M.Hum dan Bambang Kariyawan Ys, tampil sebagai pembicara dan Siti Salmah sebagai moderator.

Sejumlah seniman tampak hadir pada acara ini, seperti Taufik Ikram Jamil, Aris Abeba, Fahrunas MA Jabbar, Syafrudin Sei Gergaji, Ketum DKR Taufik Hidayat, Jefri al Malay, Kunni Masrohanti, Murpasaulian, Mulyati Umar, Hang Kafrawi, Tien Marni dan lainnya.

Qori Islami, S.S., M.Hum mengatakan Sayap Rindu memamerkan kompleksitas yang lahir dari asa dan rindu sang penyair. 

Loading...

Dengan kepekaannya, sang penyair menyampaikan puisi-puisi yang lugas namun tetap santun di telinga yang menampilkan kondisi dan identitas kemelayuannya. 

"Puisi-puisi bergenre sejarah dan kritik sosial merupakan salah satu tema yang menarik untuk dikupas dengan teori sastra maupun budaya," katanya.

Sementara itu dalam ulasannya, Bambang Kariyawan Ys, mengatakan peristiwa sejarah adalah ladang berharga bagi penulis. Fakta sejarahnya  dapat menjadi bahan dasar untuk diolah menjadi narasi dan bait-bait syair yang kuat maknanya. 

"Seperti buku kumpulan puisi “Sayap Rindu” karya penyair perempuan Riau, D.M. Ningsih ditulis dengan latar sejarah perseteruan batin dan dendam. Sosok Tun Irang (Tengku Tengah) pada adiknya Tengku Kamariah karena masalah pilihan hati Raja Kecik. Rancangan persebatian politik lewat ranjang pengantin justeru merubah penggalan sejarah Melayu karena Raja Kecik menjatuhkan pilihan diluar rancangan dengan alasan keelokan rupa," ulasnya.

Dia juga menyebut kalau peristiwa sejarah yang dilatarbelakangi dendam ini sebelumnya pernah ditulis dan dikaji dari novel karya Rida K Liamsi yang berjudul “Selak Bidai Lepak Subang Tun Irang” yang terbit tahun 2019. 

Bambang mengatakan ada indikasi penyair menuliskan “Sayap Rindu” terinspirasi dari novel tersebut dan tentunya setelah melakukan kajian teks sejarah atas peristiwa sejarah Kemaharajaan Melayu dengan focus pada perseteruan seputar Tengku Tengah (Tun Irang). Hasil eksplorasi kajian sejarah maka lahirlah 23 dari 69 judul puisi yang bicara tentang sejarah. 

"Di sinilah letak kekuatan puisi-puisi sejarahnya dengan kemampuan menuangkan potongan-potongan sejarah dalam bait-bait puisi. Penyair membuat klasifikasi kisah dari sudut pandang yang berbeda dalam buku ini. Ada 5 puisi “Catatan Hati Tengku Kamariah”, 3 puisi “Catatan Hati Tun Irang”, dan 15 puisi yang penyair mengisahkan perpisahan dan kerinduan perjumpaan Tengku Kamariah dan Tun Irang," sebutnya.

Pilihan judul “Sayap Rindu” sengaja dipilih sebagai judul karena dilihat dari sisi indeks kata sangat representatif. Bila kita melihat keseluruhan ini buku maka terdapat kata “sayap rindu” sejumlah 8 kali, dan kata “sayap” berjumlah 18 kali, dan rindu berjumlah 27 kali. Namun apakah memang telah mewakili isi dengan judul “Sayap Rindu”? 

Mengingat isi keseluruhan dari catatan-catatan hati adalah dendam bukan kerinduan. Lagipula bahan mentah fakta sejarah hadirnya 23 puisi sejarah ini karena kental dengan rasa dendam. 

Namun penyair pasti punya alasan tersendiri terkait memberi judul “Sayap Rindu” bukan “Sayap Dendam”. Bisa saja karena memperhatikan unsur keindahan puisi serta makna “Rindu” sebagai sebuah harapan penyair membelokkan sejarah dendam dalam kerinduan perjumpaan sejarah yang lebih indah dalam puisi. 

Ditambahkannya, dalam buku ini terdapat 13 kutipan langsung yang diselipkan diantara 23 puisi sejarah tersebut. Kemungkinan penyair ingin menguatkan fakta sejarah dalam bait-bait puisinya sebagai pertanggungjawaban kesejarahan atas peristiwa yang dikutipnya. 

Diantara kutipan itu antara lain:

“aku adalah perempuan batu karang
tak kan hancur oleh gelombang
di Buantan kutalkinkan janji
tak kan pernah aku ingkari
bukti cinta berwujud nyata
ialah Tengku Buang Asmara
permata hati cahaya jiwa
jangan paksakan api membakar asa
hidup hanya sekali
pilihanku sudah pasti”  (h. 5)

“apakah cinta kita
tidak cukup untuk menjawab semua
pertanyaanmu? Ku lepas segala hanya
untukmu, biarlah aku berumah di
Buantan, asal kau selalu di sisiku”  (h. 10)

“bahkan menjadi penanak nasipun aku rela!” (h. 17).

Konsekuensi dari membaca puisi-puisi sejarah dapat menimbulkan dikotomi. Pembaca yang hanya sekedar ingin menikmati rasa puisi akan perlu kerja keras untuk memaknai perseteruan dendam sejarah, namun bagi yang pembaca akademisi akan menjadikan kajian menarik untuk pembuka menelusuri jalan-jalan peristiwa sejarahnya.

Keseluruhan buku ini selain 23 puisi bertema sejarah terdapat 46 puisi yang lain dengan beragam tema yang lain. 

Tema transendental dan perenungan akan diri, perkawinan, lingkungan, tradisi bahkan tema korona. Namun disayangkan kekuatan 23 puisi sejarah pada halaman awal menjadi 46 puisi hanya sebagai pelengkap walaupun sebenarnya memiliki kekuatan akan bait-bait puisinya. 

"Terlepas dari itu penyair telah memberikan pilihan dan memperkaya penulisan sejarah dalam bentuk puisi yang untuk dinikmati sekaligus didalami lewat kajian," pungkasnya. (*)






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]