Bias Gender dalam Kasus Prostitusi Online


Loading...

MEDIALOKAL. CO - Setelah sempat menyeruak pada tahun 2015, kasus pros­titusi on­line yang melibatkan para artis kembali naik ke permukaan. Kali ini melibatkan artis kenamaan Vanessa Angel. ditang­kap Kepolisian daerah Jawa Timur pada Sabtu (5/1) siang. Artis kelahiran Jakarta tersebut diamankan ketika se­dang bersama dengan seorang pengu­saha bernama Rian di sebuah hotel di Su­rabaya, Jawa Timur. Selain Vanessa, Av­riellia (seorang model) dan dua orang mucikari yakni ES alias Endang (37) dan TN alias Tentri (28) juga turut di­amankan da­lam kasus ini.

Secara pribadi, meskipun sangat mustahil untuk menihil­kan, saya sangat mendukung upaya baik oleh pemerin­tah mau­pun aparat untuk setidaknya me­minimalisir praktek prostitusi on­line yang kian marak. Namun dalam upa­yanya tersebut, saya melihat baik ma­syarakat, aparat, maupun media ma­sih sangat bias dalam melihat masalah ini.

Salah satunya oleh media. Dalam se­tiap kasus prostitusi artis, demi men­da­pat banyak pembaca, media cen­de­rung ha­nya sibuk meng­eks­ploi­tasi para artis yang diduga terlibat prak­tek prostitusi, tak terkecuali dalam kasus Va­nessa. Mulai dari pemberitaan ranah pri­badi macam asmara hingga pemilih­an redaksi berita yang merendahkan.

Sementara Rian, sang pengguna jasa prostitusi justru diberi­takan dengan redaksi yang positif. Mulai dari "tajir", hingga diksi "kaya", tak ada media yang berani menyematkan label pezi­nah pada pengguna jasa prostitusi. Sial­nya lagi, isu-isu substansial terkait bis­nis asusila tersebut (macam siapa aktor­nya maupun apakah ada backup dari apa­rat atau tidak) tidak mendapat so­rotan dari media.

Loading...

Hukum Bias Gender (?)

Hukum adalah institusi yang diben­tuk untuk menegakkan keadilan bagi seluruh masyarakat, termasuk dalam kasus prostitusi. Namun sayangnya hingga hari ini hukum yang dimiliki oleh Indonesia cenderung mendis­kri­mi­nasi para PSK.

Ya, selama ini pemerintah dan apa­rat selalu menempatkan para PSK se­bagai tersangka dan pengguna jasa PSK se­bagai korban. Hal ini dibuktikan dengan ber­bagai upaya penang­kapan yang dila­kukan aparat terhadap para PSK. Semen­tara itu para pengguna jasa pros­titusi dibiarkan berkeliaran. Tak ter­kecuali dalam kasus Vanessa dimana Rian (pengguna jasa) dibebaskan begitu saja.

Di sinilah letak kesalahan peme­rin­tah dan aparat. Menem­patkan para peng­guna jasa sebagai korban adalah ke­buah kekeliruan yang sangat fatal aki­batnya. Justru sikap inilah yang se­lama ini membuat praktek prostitusi kian tumbuh subur di masyara­kat. Layaknya prinsip ekonomi yang berbu­nyi semakin tinggi permintaan semakin tinggi penawaran, maka rumus yang sama juga terjadi dalam dunia pros­titusi.

Semakin tinggi jumlah permintaan ter­hadap para PSK maka akan semakin ting­gi pula jumlah PSK yang terhim­pun baik oleh para mucikari ataupun individu. Inilah yang selama ini dilupa­kan atau sengaja dilupakan oleh para pe­mangku kepentingan dalam proses men­cari solusi penanganan masalah pros­titusi. Pemerintah selalu ber­ang­gapan bahwa dengan menertibkan dan memberdayakan para PSK akan mam­pu menghapuskan praktek prostitusi di In­donesia. Padahal jelas itu merupakan pandangan yang sangat keliru.

Oleh karena itu pemerintah dan aparat harus mengubah para­digmanya. Pemerintah mau tidak mau harus melek gender untuk bisa menyelesaikan permasalahan prostitusi. Selama hal itu tidak dilakukan maka solusi yang dihasilkan oleh pemangku kepentingan tidak akan berhasil dan sia-sia.

Sahkan RUU PKS

Diskriminasi yang dialami oleh para PSK tentunya menjadi sebuah kondisi yang memprihatinkan. Dalam pengen­tas­an kasus prostitusi, hukum selama ini selalu tajam menjerat para penyedia jasa prostitusi. Hal ini berbanding ter­balik dengan sikap aparat yang dengan begitu gampangnya melepaskan dan mem­biarkan para penggunan jasa prostitusi dengan alasan mereka adalah korban dari bisnis prostitusi. Dalam pemberan­tas­an prostitusi, hukum seolah tajam ke bawah dan tumpul ke atas.  Oleh karena itu untuk mencip­ta­kan keadilan hukum, para pengguna jasa prostitusi harus mendapat huku­man yang sama seperti yang dialami para penyedia jasa prostitusi.

Selain untuk menegakkan keadilan, mem­berikan hukuman juga akan men­jadi solusi yang tepat untuk memutus ran­tai bis­nis prostitusi di Indonesia. Hal ini penting untuk segera di­te­rapkan ka­rena motif dari masyarakat meng­gu­na­kan jasa prostitusi semakin kom­pleks saja. Kalau dulu motifnya hanya ber­kisar pada kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi, kini sudah banyak ma­syarakat yang menggunakan jasa pros­titusi untuk melepas keperjakaan (biasanya dilaku­kan oleh kaum rema­ja), sebagai peng­ganti praktek seling­kuh (atas izin dari istri), hingga sebagai ba­han pamer kepada teman-temannya (biasanya dilakukan oleh pebisnis dan pejabat).

Untuk bisa menjerat para pengguna jasa prostitusi maka pemerintah mau tidak mau harus melahirkan sebuah perangkat hukum yang mengatur hukuman bagi pengguna. Salah satunya dengan mengesahkan RUU Penghapu­san Kekerasan Seksual (UU PKS) yang sudah bertahun-tahun mandeg di meja DPR RI. RUU ini terbilang efektif  ka­rena akan menghukum semua pihak da­lam praktek prostitusi mulai dari mu­cikari hingga si pengguna jasa.

Di samping itu dengan adanya sanksi terhadap pengguna, maka akan terjadi pergeseran perspektif terkait prostitusi dari yang sebelumnya diang­gap sebagai sesuatu yang wajar men­jadi sebuah tindak kejahatan sehingga per­misifitas masyarakat terhadap lelaki pengguna jasa prostitusi akan hilang.

Saya tentunya tidak bisa menjamin bahwa pengesahan UU PKS tersebut bisa menghapuskan praktek prostitusi di Indonesia karena belum ada satupun negara yang bisa mengha­puskan prosti­tusi dari negaranya. Namun setidaknya kita bisa mengurangi praktek maupun transaksi prostitusi dengan penerapan hukuman tersebut. Demi menciptakan keadilan dalam masyarakat. ***

sumber:analisadaily.com

 






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]