Terungkap, Ternyata Kelompok Ini Paling Ditakuti Polri Saat People Power 22 Mei


Loading...

JAKARTA – Polri telah menyiapkan berbagai upaya menghadapi gerakan people power saat KPU mengumumkan pemenang Pilpres pada 22 Mei 2019.

Salah satunya menyiapkan 32.000 pasukan keamanan. Jumlah itu dua kali lipat lebih besar ketimbang pengamanan tahun 1998. Saat itu, pasukan keamanan yang dikerahkan hanya 15.000 pasukan.

Polri meminta agar massa yang turun ke jalan pada 22 Mei tetap menjaga ketertiban.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, menyampaikan pendapat atau aspirasi di muka umum itu boleh-boleh saja.

Loading...

“Itu hak konstitusiaonal, diatur dalam undang-undang 9 Tahun 1998, silakan, tetapi tetap dalam koridor pasal 6,” kata Dedi saat berkunjung ke kantor Pojoksatu.id, Kamis (16/4/2019) kemarin.

Dedi mengingatkan bahwa menyampaikan pendapat itu tidak absolut, ada batasan-batasan yang diatur dalam Pasal 6.

“Di Pasal 6 itu diatur, tidak boleh melanggar HAM, tidak boleh melanggar norma-norma, tidak boleh melanggar hukum, tidak boleh melanggar ketertiban dan keamanan, tidak boleh merusak persatuan dan kesatuan bangsa,” ucap Dedi.

Menurut Dedi, jika tidak puas dengan hasil KPU, silakan ke Mahkamah Konstitusi. Kalau misalnya ada gejolak terhadap KPU dalam proses pemungutan suara, silahkan lapor ke Bawaslu.

“Artinya ada lembaga yang betul-betul secara konstitusional menangani semua permasalahan itu,” tambahnya.

Dedi menegaskan, Polri tidak khawatir dengan pengerahan massa 02 pada 22 Mei mendatang. Yang dikhawatirkan Polri adalah teroris yang memamfaatkan momen tersebut.

“Bukan masalah masyarakat turun ke jalan yang kita khawatirkan. Yang sudah jelas itu ancaman di depan mata, teroris,” tambah Dedi.

Dikatakan Dedi, para teroris dari kelompok Jaringan Ansharut Daulah (JAD) itu sudah menyiapkan rencana secara sistematis untuk melakukan serangan.

“JAD Lampung sudah siap. Bom bomnya sudah siap. JAD Bekasi sudah siap, yang kemarin kita tangkap 9 orang, 7 orang itu adalah kombatan dari Syria,” katanya.

Kombatan itu rata-rata tinggal di Syria selama 1-3 tahun. Bahkan ada yang empat tahun.

“Ada yang sampai dua kali ke Syria. Kemampuan tempurnya pasti punya, keahlian menggunakan senjata pasti punya, militansinya jangan diragukan lagi,” beber Dedi.

“Itu yang kita khawatirkan. Mereka memanfaatkan situasi untuk melakukan penyerangan,” tandas Dedi. (*)
 

Sumber : Pojoksatu.id






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]