ARTIKEL

Politik Identitas: Ambisi Atas Kuasa


Loading...

Francis Fukuyama berpendapat bahwa hal yang jauh lebih tidak terduga dari negara demokrasi adalah ancaman terhadap demokrasi justru muncul dari negara demokrasi yang sudah mapan itu sendiri.

Semua Negara ingin dicap demokratis. Berlomba-lomba mereformasi negaranya agar terlihat demokratis. Sistem ini juga memastikan setiap individu memiliki hak sebagai pejabat publik. Mari kita katakan mereka sebagai, aktor politik. Para aktor politik ini, menjelang momentum pemilihan umum (Pemilu) berlomba-lomba berkampanye, mengenalkan dirinya kepada publik. Dengan metode apapun, dengan pesan apapun.

Dalam proses pemilu, aktor-aktor politik kerap memainkan sentimen identitas guna meraup suara pemilih. Mari sentimen identitas ini, kita persempit pada pemahaman sentimen SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Mereka menggunakan simbol-simbol yang lekat dengan identitas kelompok atau individu, untuk memperkuat ikatan antara aktor politik dan konstituennya. Hal ini pada akhirnya menciptakan friksi politik yang kental dengan polarisasi berdasarkan identitas.

Menakar Isu Politik Identitas
Politik identitas merupakan tantangan bagi aktor politik dalam membangun negara demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Sistem demokrasi memberi peluang dan kesempatan berkembangnya suatu pemahaman politik yang muncul dari perbedaan budaya di Indonesia. Oleh karena itu politik identitas seharusnya berjalan sesuai dengan kerangka prinsip berdemokrasi dan tidak mengandung unsur kekerasan atau pengintimidasian terhadap kelompok yang berbeda.

Satu hal yang pokok dalam pembahasan ini, ialah gagasan etnisisasi, yakni keputusan politik yang secara sadar dibuat oleh suatu kelompok untuk mengadopsi suatu identitas etnik demi meraih keuntungan.

Inilah konsekuensi demokrasi liberal atau Pemilu secara langsung . Setuju atau tidak setuju, siapapun yg ikut dalam ajang kontestasi, Politik Identitas dijadikan bagian dari strategi pemenangan.

Salah satu pemaparan & temuan pak Burhanuddin Muhtadi, Ph.D. Di wilayah yg etnik & agama warganya heterogen/relatif berimbang, politik identitas bisa bekerja. Bahkan tanpa mobilisasi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU Pilkada) belum banyak mengatur tentang politik identitas. Bawaslu menilai pengaturan politik berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) masih memadai. Larangan penggunaan politik SARA hanya diatur dalam Pasal 69 huruf b. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa dalam masa kampanye, setiap calon dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon lain dan/atau Partai.

Politik Identitas di Indonesia, sebagaimana dikutip dari Ma’arif dalam bukunya, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Indonesia” menjelaskan, di Indonesia politik Identitas lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55). Gerakan pemekaran daerah dapat dipandang sebagi salah satu wujud dari politik identitas tersebut. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin, merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan.

Isu politik identitas kewilayahan di Provinsi Riau dapat kita lihat pada isu pemekaran Provinsi Riau Pesisir. Ketua DPRD Riau Indra Gunawan Eet, mendukung bila dimunculkan isu pemekaran Provinsi Riau Pesisir yang muncul pada pemerintahan Gubernur Riau, Annas Maamun. Isu itu dipakai dengan alasan, bila nantinya Provinsi Riau Pesisir terbentuk, pembangunan dapat merata, apalagi jika melihat potensi ekonomi diwilayah pesisir.

Ditingkat kabupaten, isu politik wilayah atau geopolitik di Kabupaten Bengkalis misalnya, Duri ingin menjadi Kabupaten sendiri dan isu ini cukup berpengaruh bila digunakan dalam memobilisasi politik. Selain Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hilir juga ramai diperbincangkan di warung kopi tentang pembentukan Indragiri Hilir Utara dan Indragiri Hilir Selatan, menarik untuk dibahas. Indargiri Hilir yang luas, berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi, Kepulauan Riau dan Kabupaten Inhu dan Pelalawan cukup dijadikan patokan bahwa, tingkat kemajuan Provinsi atau Kabupaten tetangga membuat iri masyarakat di sekitar perbatasan tersebut. Penulis baru-baru ini dikejutkan dengan berita yang di lansir serambijambi.id pada 21 Februari 2020, Warga Kelurahan Pulau Kijang Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) melakukan protes kepada kepada Pemerintah Provinsi Riau. Protes tersebut dilakukan karena warga menganggap minimnya perhatian dari Pemerintah Provinsi Riau terhadap keadaan infrastruktur, terutama akses jalan di Kelurahan Pulau Kijang. Isu pemekaran wilayah ini menjadi menarik, apakah ini hanya ambisi politik segelintir elit, atau sentiment etnisitas yang menguat? Kemudian, sejauh apa pemekaran wilayah menjamin kesejahteraan warga?

 

PENULIS : Andhika Asmara
PENYUNTING : Haldi Yunian Ryaldi






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]