Mengerikan...!! Pria Ini Telan Pisau Hingga Engsel


Loading...

MEDIALOKAL.CO – Jumrah tak bisa berkata-kata. Perasaannya hancur begitu melihat hasil pindai isi perut anaknya yang bernama Jahrani, 24 tahun. Dokter RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang menunjukkan hasil rontgen itu tak kalah heran. Beberapa benda, seperti sendok dan kantong plastik yang semestinya tidak di perut manusia, ditemukan di saluran pencernaan.

“Kenapa bisa begini, Bu?”

“Saya tidak tahu,” kata Jumrah menjawab pertanyaan dokter. Pandangannya tidak lepas dari hasil rontgen. Dalam pikiran yang kalut, perempuan tua itu meneteskan air mata. Belum selesai kagetnya, Jumrah makin terkejut begitu perawat meminta urine anaknya diuji. Paramedis mencurigai Jahrani menelan narkotika berikut kemasannya.

Dugaan yang keliru. Hasil tes urine Jahrani negatif. “Sampai di situ, saya masih kebingungan,” tutur Jumrah menceritakan peristiwa pada 2016 silam kepada Kaltim Post (Grup Pojoksatu), Selasa (27/2).

Loading...

Ditemui di kediamannya, Desa Loa Duri Ilir, RT 20, Kecamatan Loa Janan, Kutai Kartanegara, Jumrah menceritakan ulang peristiwa yang dilewati putranya. Semua berawal ketika anak keduanya itu mengeluh sakit di saluran pencernaan pada pengujung 2015 lalu. Jahrani dibawa ke rumah sakit dan dirontgen. Dari situlah diketahui benda asing di dalam perut pemuda bergolongan darah B itu. Bentuknya sangat mirip sendok.

Dokter kemudian memberi obat pencahar agar benda asing itu keluar lewat buang air besar. Namun, sampai beberapa hari kemudian, perut Jahrani tetap sakit. Dia dirontgen lagi. Sendok sudah tidak ada tetapi benda asing yang ditemukan lebih banyak lagi. Ada yang berbentuk stik es krim, sedotan, hingga tas plastik.

Tim dokter RSUD AW Sjahranie memutuskan membawa Jahrani ke meja operasi setelah 18 hari dirawat. Hasilnya sungguh mengejutkan. Jumrah, sang ibu, melihat benda-benda tadi dikeluarkan dari perut anaknya. “Semua benda itu masih utuh,” kenang Jumrah.

Pada April 2016, Jahrani akhirnya dirujuk ke RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda karena diduga mengalami gangguan kejiwaan. Dirawat 15 hari, Jahrani terus-menerus mengeluhkan sakit di perut. Lagi-lagi dirontgen, tim medis menemukan paku di saluran pencernaannya. Jahrani pun dioperasi lagi di RSUD AWS. Kali ini, benda yang dikeluarkan dari perutnya lebih radikal. Jahrani diketahui telah memakan engsel, paku, baut, dan pengupas buah.

Kejadian itu terus-menerus berlangsung sampai Januari 2018. Tim dokter tiga kali mengambil tindakan endoskopi, mengeluarkan benda asing di tubuh Jahrani melalui mulut. Kali ini, isi perutnya adalah peralatan dapur. Dari hasil operasi, dikeluarkan garpu, sendok, dan pisau.

Sebagai pemuda dewasa, Jahrani menyadari perbuatan tak biasa, yaitu memakan benda-benda yang tak semestinya dikonsumsi. Maka, sejak enam bulan terakhir, Jahrani meminta kamarnya dibuat seperti penjara. Dia memilih dipasung.

“Orangtua mana yang tega melihat anaknya seperti itu,” tutur ibunya. Namun, demi kebaikan Jahrani pula, Jumrah berkata, “Permintaan itu terpaksa kami turuti.”

Selama enam bulan terakhir, Jahrani melewati hidup di dalam pasungan. Dia makan disuapi ibunya. Jahrani harus buang air kecil di botoldan mandi selalu diawasi.

Jahrani tinggal bersama kedua orangtua dan satu adik laki-laki. Keluarga kecil itu menetap di rumah kayu berukuran 5×5 meter, tak jauh dari Pasar Loa Duri. Jumrah menuturkan, dia dan suaminya yang bernama Ardani mengurung Jahrani demi kebaikan sang anak. Sampai selepas operasi, lanjut Jumrah, belum ada tindakan medis lagi yang ditempuh Jahrani, semisal terapi.

KASUS LANGKA

Kegemaran memakan benda tak lazim yang dialami Jahrani diduga gangguan psikologis yang disebut pica. Menurut psikiater dari RSJD Atma Husada Samarinda, dr Jaya Mualimin SpKJ, pemeriksaan mendetail kepada Jahrani dapat memastikan ada tidaknya gangguan tersebut.

Setidaknya, ada tiga jenis gangguan psikologis yang berdampak kepada kebiasaan makan. Selain pica, ada pula anoreksia untuk mereka yang tidak mau makan, serta bulimia atau hasrat keinginan makan berlebihan. Jaya menerangkan, pica juga bisa dipicu reterdasi mental atau ketidakmampuan yang ditandai tingkat intelektual di bawah rata-rata.

Gejala yang menyertai pica adalah gemar memakan benda-benda yang bukan makanan. Plester, cat, rambut, kain, pasir, binatang kecil, batu kerikil, dan kotoran hewan adalah beberapa contohnya. Dalam buku Kesehatan Mental 2 (2016), belum diketahui alasan dibalik perbuatan tidak biasa itu. Namun, para ahli menemukan bahwa kebiasaan memakan benda aneh sudah ada sejak spesies homohabilis pada zaman purba atau sekitar 2 juta tahun lalu. Telah lama pula diketahui perempuan hamil mengidam benda-benda aneh untuk dimakan (Pica in Individuals with Developmental Disabilities, 2016).

Pica sebenarnya sering ditemukan pada anak-anak berusia 2-3 tahun. Menurut sebuah penelitian, pica menghinggapi 25-33 persen anak-anak pada usia tersebut. Sebesar 20 persen anak-anak yang mengidap pica diketahui mengalami gangguan mental dan autisme. Sebagian kecil anak bisa membawa kebiasaan itu hingga dewasa meskipun kasus pica jarang ditemukan pada orang dewasa. Dalam Eating Disorders (2013), gejala itu hanya ditemukan di perempuan hamil atau orang dewasa yang mengalami keterbelakangan mental.

Dalam kasus Jahrani, pemuda itu diketahui berperilaku normal. Tidak, atau belum, ditemukan mengidap keterbelakangan mental maupun autisme. Menurut Jaya Mualimin, penderita pica dapat disembukan melalui penanganan menyeluruh. “Meliputi pendidikan perilaku yang benar, lingkungan yang mendukung, dan pendekatan keluarga,” jelasnya.

Psikiater yang lain dari RSJD Atma Husada, dr Yenny SpKJ, menduga bahwa perbuatan Jahrani termasuk gangguan psikotik. Dalam kondisi tersebut, seseorang tidak menilai realitas dan mengalami halusinasi. Faktor itu turut mendorong pica menyerang orang dewasa.

Jahrani sebenarnya bukan penderita pica pertama di Kaltim. Yenny mengaku pernah menangani seorang pasien yang memakan kotorannya sendiri. Namun, hal tersebut terjadi karena pasien dikurung dalam satu tempat dan dalam waktu lama. “Pasien mengalami gangguan jiwa sehingga dikurung oleh keluarga. Dia makan, tidur, sampai buang air di tempat itu,” terangnya.

Kasus ini memang berbeda dengan Jahrani. Namun, pica yang diderita kemungkinan didorong faktor yang sama, yaitu masalah kejiwaan. Jahrani, kata Yenny, bisa mengalami hal serupa. “Bila memakan sendok sampai pengupas buah berulang kali, pasti ada yang salah di otaknya,” jelasnya.

Dia turut menyarankan agar keluarga membawa Jahrani ke RSJD untuk melewati pemeriksaan. “Tidak perlu cemas karena pengobatan di RSJD ditanggung BPJS,” sambungnya.

Di Kaltim, pica yang diderita Jahrani adalah kasus langka. Kepala Humas RSUD AWS Samarinda dr Muhammad Febian Satrio menyatakan hal tersebut. Di rumah sakit tipe A itu, tidak ada rekam data khusus kejadian pasien yang menelan benda tak wajar. Dalam beberapa kasus, pasien hanya menelan benda seperti jarum pentul atau koin karena tidak sengaja.

Satrio menjelaskan, logam yang masuk ke saluran pencernaan memiliki dampak yang bergantung ukuran dan bentuk benda. Logam, kata dia, relatif tidak bereaksi dengan tubuh, namun mengganggu secara mekanik. Efek yang dikhawatirkan adalah gangguan pencernaan karena logam berisiko menghalangi jalannya makanan. “Paling berat, dapat melukai saluran pencernaan bila logam tajam,” jelasnya.

RSUD AWS telah memiliki alat khusus menangani kasus benda tak lazim yang tertelan. Teknik yang digunakan dikenal dengan endoskopi dan laparoskopi. Endoskopi adalah mengangkat benda asing dari tubuh melalui bedah dan terapeutik. Caranya adalah memasukkan selang elastis dengan lampu dan kamera melalui mulut yang disebut endoskop. Dari layar monitor, benda di organ dalam dipantau kemudian dijepit atau dijerat untuk dikeluarkan. Setelah terjepit, dokter memakai teknik khusus menarik benda asing melalui mulut. Teknik khusus diperlukan agar benda tidak melukai saluran pencernaan.

Bambang Suprapto adalah dokter spesialis bedah umum subspesialis bedah digestif (pencernaan) RSUD AWS Samarinda. Dia menangani Jahrani yang ketika datang kepadanyasudah memiliki dua sayatan bekas operasi. Dokter berkacamata itu memutuskan langkah endoskopi. Jahrani dibius total dan dibaringkan. Sendok, garpu, paku, pisau, gunting kuku, sikat gigi, hingga sedotan ditarik keluar.

Kepada Kaltim Post, Bambang menunjukkan foto benda-benda tersebut. “Kesulitan bergantung letak dan banyaknya benda asing,” katanya ketika ditemui di Paviliun Sakura RSUD AWS Samarinda, Selasa (27/2).

Benda yang masuk lewat mulut bisa ditarik dengan endoskopi sepanjang belum melewati usus dua belas jari atau setelah lambung. Endoskop tidak dapat menjangkau sejauh itu. Dalam kasus demikian, barulah diambil langkah bedah atau laparoskopi. Berbeda dengan bedah sayatan besar, laparoskopi minim sayatan sehingga sering disebut bedah lubang kunci atau minimal invasif. Dokter bedah hanya membuat sayatan 1-2 sentimeter untuk memasukkan kamera di area pusar. Setelah itu, menyayat area perut lain untuk tindakan selanjutnya.

Bambang menjelaskan bahwa efek benda asing yang bersarang di tubuh adalah rasa sakit dan tak nyaman. Tubuh memiliki respons berupaya mengeluarkan benda asing. Semakin lama di dalam tubuh, benda asing dapat menimbulkan infeksi. Ketika benda tersebut menembus organ berongga, kematianlah yang akan membayangi.

Jika merujuk buku Pica in Individuals with Developmental Disabilities (2016), Jahrani diperkirakan sudah memasuki tingkat paling parah. Tingkat keparahan pica dibagi menjadi lima. Paling rendah adalah tingkat ringan sedangkan terberat adalah mengancam kehidupan. Dalam “stadium” yang terparah seperti Jahrani, penderita pica telah melewati lebih dari satu operasi untuk mengeluarkan benda asing. Nyawa penderita akan terancam jika kebiasaan itu terus berlangsung setidaknya sekali dalam tiga bulan selepas pemeriksaan.(*)

 

 


Sumber : POJOKSATU.id






Loading...

[Ikuti Medialokal.co Melalui Sosial Media]